Oleh: Andryanto S
Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak pemerintah jangan berspekulasi dalam menetapkan kebijakan impor pangan. Apalagi sampai saat ini diketahui, target swasembada masih belum berhasil.
Indonesiainside.id, Jakarta — Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti meminta pemerintah memastikan data pangan benar-benar akurat terlebih dahulu sebelum mengimpor komoditas pangan.
“Indonesia mau mencapai swasembada pangan, tetapi selalu direcoki dengan nafsu impor,” ucapnya di Jakarta, kemarin.
Rachmi mengharapkan pemerintah jangan berspekulasi dalam menetapkan kebutuhan impor. Ia juga mengingatkan esensi kebijakan impor, khususnya produk pertanian, hanya bisa dilakukan apabila produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan.
Untuk itu, ujar dia, pemerintah harus membuka data-data ketersedian produksi dalam negeri dulu kepada publik sebelum melakukan impor.
“Bagi kami, soal kebijakan impor di sektor pertanian ini akan terus menjadi polemik jika persoalan mendasar mengenai data produksi dan konsumsi belum dapat diselesaikan. Padahal, itu yang menjadi dasar penetapan dari kebutuhan impor,” katanya.
Rachmi juga mengingatkan hingga kini belum ada badan yang menyediakan data produksi dan kebutuhan konsumsi secara valid, sehingga berbagai lembaga bisa saling mengklaim.
Polemik impor pangan kembali menghangat di tataran publik sejak sejumlah pihak mengkritisi kebijakan impor pemerintah saat ini yang cenderung melonjak tajam. Ekonom senior Faisal Basri kembali melayangkan kritikan pedas terhadap kebijakan impor beras pemerintah. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Faisal menyoroti impor beras sepanjang Januari-November 2018 yang mencapai 2,2 juta ton.
Jumlah tersebut melonjak tajam dibandingkan 2017 dan merupakan yang tertinggi sepanjang era pemerintahan Jokowi-JK. “Impor beras sepanjang Januari-November 2018 melonjak sangat tajam,” paparnya dalam akun medsos twitter miliknya, Kamis (10/1).
Sebelumnya, Faisal juga mengungkap data mencengangkan bahwa Indonesia menjadi importer gula terbesar di dunia pada periode 2017-2018. Apalagi menjelang pemilihan umum (pemilu), impor besar-besaran itu diduga menjadi permainan sejumlah pihak untuk modal di perhelatan pemilu.
“Menjelang pemilu, tiba-tiba Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di dunia. Praktek rente gila-gilaan seperti ini berkontribusi memperburuk defisit perdagangan,” ujar Faisal, Rabu (9/1).
Faisal yang juga Dosen Ekonomi Universitas Indonesia itu mengutip data Statista—lembaga penelitian global bahwa pada periode 2017-2018 Indonesia mengimpor 4,45 juta ton, tertinggi secara global. Impor gula Indonesia melampaui China dengan jumlah 4,2 juta ton, Amerika Serikat 3,11 juta ton, Uni Emirat Arab 2,94 juta ton, Bangladesh 2,67 juta ton, Algeria 2,27 juta ton, Malaysia 2,02 juta ton, Nigeria 1,87 juta ton, Korea Selatan 1,73 juta ton, dan Arab Saudi 1,4 juta ton.
“Segala upaya telah dilakukan Pemerintah untuk menekan defisit perdagangan, kecuali memerangi praktek pemburuan rente dan memecat Menteri Perdagangan,” kata Faisal. (*/Dry)