Oleh: Ahmad Z.R |
Tekanan perdagangan Indonesia dengan Cina harus menjadi perhatian dan menjadi strategi pemerintah ke depan. Jika tidak, maka ekonomi Indonesia akan sangat lemah, nilai tukar rupiah akan rapuh dan kepastian bisnis tidak kuat.
Indonesiainside.id, Jakarta — Derasnya tenaga kerja asing (TKA) Cina yang datang ke Indonesia tidak terlepas dari hubungan erat antara pemrintah Indonesia dengan pemerintah Cina dan dinamika serta peran Cina di kancah global.
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan bahwa defisit neraca berjalan mencapai angka terbesar sepanjang sejarah 20 tahun terakhir ini. Artinya, sektor ekonomi luar negeri Indonesia lemah serta kehilangan strategi ekonomi dan dagang.
Ekonom senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Didik J Rachbini menjelaskan, salah satu hal yang membuat angka ekonomi Indonesia berasa di titik terendah dikarenakan defisit perdagangan dengan Cina ‘tekor’ besar.
“Ini adalah faktor penting, dimana dalam satu aspek perdagangan, Indonesia berada pada pihak yang kalah, dirugikan dan terdesak. Tetapi pemerintah tidak terlihat mempunyai strategi diplomasi dagang setidaknya untuk menguranginya,” ujar Didik dalam sebuah diskusi, Kamis (21/2).
Hal itu dapat dilihat dari neraca perdagangan Indonesia dengan Cina dua dekade yang lalu, dimana, kala itu, hanya defisit ratusan juta USD, namun saat ini defisitnya sangat besar. Padahal, sepanjang sejarah IIndones kaya sumber daya alam, Indonesia selalu menghasilkan surplus perdagangan. VOC menghasilkan surplus perdagangan. Namun dalam hal ini defisit terparah dalam sejarah terjadi.
“Faktor utamanya karena kita mengalami defisit besar dalam perdagangan dengan Cina,” jelasnya.
Mantan rektor Universitas Paramadina ini mencontohkan, sebagai perbandingan, defisit perdagangan Cina dengan Amerika sekitar 375 milyar USD, defisit yang sangat besar membuat Amerika marah dengan tidak hanya mengultimatum tapi langsung memukul bendera perang dagang. Didick menyebutkan, dalam satu bulan defisit dapat mencapai 30 sampai 40 milyar dollar AS.
“Sekarang perang itu sedang berlangsung dan mempengaruhi ekonomi global. Indonesia defisit dagang cuma ‘nerimo’ saja, padahal ini melamahkan ekonomi ke depan,” sesal dia.
“Jadi, Amerika tidak terima menghadapi defisit dngan Cina, ultimatumnya perang dagang. Eropa juga sedang menyusun strategi begaimana menghadapi serbuan dagang denagn Cina.
Menurut dia, tekanan perdagangan Indonesia dengan Cina harus menjadi perhatian dan menjadi strategi pemerintah ke depan. Jika tidak, maka ekonomi Indonesia akan sangat lemah, nilai tukar rupiah akan rapuh dan kepastian bisnis tidak kuat.
“Ini merupakan isu penting yang terkait dengan nasib ekonomi Indonesia ke depan. Saya melihat isu ekonomi politik Indonesia dengan Cina belum menjadi isu yang diangkat oleh calon presiden,” ungkapnya.
Soal lain, Didik juga menyoroti startup unicorn atau e-commerce, yang dampaknya ke depan lebih hebat dan cukup berbahaya. Mengapa, karena persaingan modal bersifat ‘the winner take all’. Sifat dari bisnis ini adalah disrupsi. Mematikan yang sudah ada dan membesarkan yang sudah besar.
“Ini sudah menjadi isu capres, tapi belum melihat bahayanya sehingga jika abai kita bisa terjerumus kalah perang ekonomi,” katanya.
Gagasan tersebut selaras dengan hukum atau teori schumpeter, yang teori creative distruction. Ada inovasi baru akan menyebabkan yang lama akan punah. Hal ini juga berdampak menimbulkan masalah sosial, seperti perang jalanan gojek dan ojek gang-gang.
Akibatnya, startup unicorn Indonesia jika tidak diatur dan tidak diproteksi dengan baik, maka akan dicaplok modal asing. Dampaknya, flow modal dari royalti di masa depan lewat e-commerce akan sangat besar.
Ia mencatat, defisit neraca berjalan atau current account sangat besar karena pendapatan primer, royalti dan income tenaga kerja asing sangat besar. Menirut Didik, dengan tumbuhnya unicorn yang bebas tanpa peran pemerintah, maka defisit neraca berjalan akan besar dan bahkan jebol.
“Jadi, akar masalah kelemahan ekonomi Indonesia berada di sektor luar negeri, neraca berjalan dan sekarang defisit neraca jasa. Neraca berjalan kita selalu negatif, yang utamanya karena defisit di sektor ekspor impor jasa,” Didik memaparkan.
“Sekarang, neraca berjalan defisit lebih gawat lagi karena neraca perdagangan terpuruk. di neraca jasa desifit yang besar dan paling abadi adalah defisit jasa angkutan. Sekarang defisit raksasa itu adalah pendapatan primer, utamanya adalah royalti dan gaji asing yang menyedot ekonomi indonesia keluar negeri,” imbuhnya.
Didik menjelaskan, tahun 1980an, ekonomi Indonesia mengalami tekanan besar, namun pemerintah di era Pak Harto kala itu membuat kebijakan besar restrukturisasi ekonomi dan dinilai berhasil menciptakan ekspor besar dan neraca pedagangann surplus besar.
“Sekarang ada upaya paket kebijakan tapi strateginya lemah sehingga tidak berhasil. Hasilnya seperti kita lihat. Defisit ganda, perdagangan, jasa, neraca berjalan, dan defisit APBN. Yang berhasil cuma infrasturktur,” tandasnya. (*/Dry)