Oleh: Andryanto S |
Berkurangnya luas lahan pertanian akan berdampak signifikan pada stabilitas pasokan pangan, sehingga target kedaulatan pangan sulit tercapai.
Indonesiainside.id, Jakarta — Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengungkap data penurunan luas lahan pertanian yang makin krusial jika tidak segera ditangani dengan baik. Saat ini, luas lahan pertanian terus menurun akibat pembangunan yang tak terkait produksi pangan.
Assyifa menjelaskan luas lahan pertanian hanya meningkat 3,2 persen selama 2003-2013. Kemudian malah menurun rata-rata 0,5 persen pada tahun-tahun berikutnya.
“Berkurangnya luas lahan pertanian akan berdampak signifikan pada stabilitas pasokan pangan. Program pencetakan sawah dan pemanfaatan lahan tidur sebenarnya perlu penyesuaian waktu agar tingkat produktivitas sama atau melebihi lahan sawah lama,” katanya di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, pemerintah perlu mengevaluasi pelaksanaan program-program yang sudah ada, mengingat UU 41/2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan belum efektif.
Dia menilai hal itu terjadi karena pemerintah daerah kurang perhatian dengan pentingnya area produksi lahan, mengingat pajak daerah yang diterima dari lahan sawah tidak sebesar dari pendapatan lahan pemukiman dan industri.
Faktor lain yang perlu diperhatikan ialah perubahan iklim, tersedianya pangan bergizi, dan harga pangan yang stabil. Hal itu membuat pemerintah berperan penting dalam mempertimbangkan regulasi impor pangan dan menetapkan harga acuan komoditas.
Sebelumnya, Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori juga menilai kebijakan pangan saat ini relatif mengecewakan karena pemerintah belum mampu menerapkan inovasi guna mendongkrak produksi pangan secara signifikan. Di sisi lain, tata kelola impor pangan cenderung amburadul.
“Kita ambil contoh lahan sawah, dari hasil audit terakhir sejumlah instansi, jumlahnya hanya 7,1 juta hektare, itu sangat tidak cukup. Belum ada terobosan teknologi, bisa kita bandingkan dengan tahun 1960-1970 saat ada revolusi hijau. Saat itu revolusi hijau bisa menggandakan produksi hingga dua kali lipat,” ujar Khudori.
Menurut dia, Indonesia masih sangat membutuhkan peningkatan produksi pangan secara signifikan. Di atas kertas, perluasan lahan (ekstensifikasi) untuk produksi pangan masih memungkinkan. “Kalau mau dievaluasi, upaya pencetakan lahan baru dari tahun ke tahun, dari rezim ke rezim, bukan hanya di rezim ini tapi rezim sebelumnya, relatif mengecewakan,” paparnya.
Di rezim Joko Widodo (Jokowi), menurut dia, selama 4 tahun terakhir pencetakan sawah baru hanya 215 ribu hektare. “Di rezim-rezim sebelumnya juga tidak terlalu baik. Sementara kita dihadapkan pada keharusan untuk memproduksi sekian banyak komoditas pokok yang dibutuhkan masyarakat, seperti jagung, beras, gula. Itu semua butuh lahan. Sekarang lahan jauh dari cukup,” paparnya.
Khudori juga menyatakan belum ada terobosan dalam hal inovasi teknologi yang dikembangkan untuk mendukung upaya peningkatan produksi pangan nasional. Padahal seperti diketahui, masyarakat yang berada di garis kemiskinan, 73% pengeluarannya dialokasikan untuk pangan.
“Jadi kita mesti sadar, kalau harga beras misalnya–naik sedikit saja–itu menimbulkan dampak yang luar biasa, bukan hanya inflasi, tapi masyarakat miskin, yang rata-rata pengeluaran pangan terutama beras sekitar 23%, disedot untuk beras. Di pedesaan lebih besar angkanya, sekitar 26%,” paparnya.
Di sisi lain, Khudori juga menyoroti tata kelola impor pangan yang masih amburadul. Impor pangan terus menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat yang tidak berkesudahan. “Sebetulnya kalau dari sisi aturan, ini tidak dilarang. Yang menjadi persoalan, saat impor pangan itu tidak memenuhi syarat. Selain itu, yang juga jadi persoalan, tata kelola impor pangan kita memang acak adul (amburadul),” tuturnya. (*/Dry/Ant)