Oleh: Andryanto S |
Meroketnya penyaluran kredit melalui financial technology (fintech) lending sebesar 784% tahun lalu wajib diwaspadai. Jika tidak dilakukan pengawasan ketat, penyaluran kredit fintech lending bisa menimbulkan masalah sekaligus memicu krisis finansial baru.
Indonesiainside.id, Jakarta — Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai perkembangan pesat fintech lending yang disertai penyaluran kredit yang bertambah besar wajib diwaspadai otoritas.
“Di China, fintech lending menjadi masalah ketika praktiknya ternyata predatory lending, skema Ponzi, dan pengawasan lemah. Ada 200 fintech yang dibubarkan di China. Artinya, Fintech tanpa pengawasan yang ketat, dan level of playing field yang sama dengan bank bisa menimbulkan krisis finansial,” ujarnya kepada Indonesiainside.id, di Jakarta, Selasa (26/2).
Apalagi, lanjut dia, banyak fintech yang mendapatkan suntikan dari asing. “Ketika AS atau China krisis misalnya bisa pengaruh terhadap likuiditas fintech di Indonesia,” ucapnya.
Di Indonesia sendiri, selama 2018 pinjaman fintech lending mencapai Rp 22,67 triliun atau naik 784% year-on-year. Padahal, di tahun 2017 penyaluran pinjaman fintech lending baru mencapai Rp 2,56 triliun. Rata-rata penyaluran pinjaman fintech lending adalah sebesar Rp 65,81 juta dengan rata-rata pinjaman terendah sebesar Rp 17,76 juta.
“Regulasi sudah ada POJK 77 tahun 2016, tapi itu hanya mengatur internal Fintech belum mengatur pasar antara Fintech vs bank,” papar Bhima.
Di sisi lain, Bhima menyoroti persaingan penyaluran kredit antara fintech lending dengan bank skala kecil cenderung mengarah pada praktik kanibalisme. Hal itu terlihat dari perkembangan pangsa pasar fintech lending yang pesat dan menggerus bank skala kecil, baik dari sisi market share maupun laba.
“Memang yang terjadi adalah praktik kanibalisme fintech memakan pangsa pasar bank buku 1 hingga bank dan koperasi. Penyaluran kredit UMKM melalui Fintech dirasa lebih cepat, efisien, dan tidak membutuhkan collateral atau jaminan yang memberatkan debitur. Pergeseran ini sudah terjadi sejak 3 tahun terakhir, tapi tahun 2018 lalu jumlah Fintech terus meningkat hingga 88 perusahaan yang terdaftar di OJK, sementara ada lebih dari 230 perusahaan yang belum terdaftar,” ungkap Bhima.
Dia menambahkan, fintech lending tidak memakan laba bank Buku 4 (bank skala besar) karena adanya praktik kerjasama antara bank besar dengan Fintech dalam penyaluran kredit. “Yang terjadi justru channeling saling menguntungkan. Fintech juga tidak boleh mengumpulkan simpanan sehingga fintech butuh menempatkan escrow account di bank besar. Masalahnya, bank buku kecil terlambat untuk lakukan kerjasama dengan fintech,” paparnya.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan perolehan laba bersih bank kecil yang bermodal inti di bawah Rp5 triliun pada sepanjang tahun lalu anjlok dibandingkan 2017. Sementara laba bank besar yang bermodal inti di atas Rp5 triliun pada tahun lalu justru mengalami peningkatan.
Data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK menyebutkan, laba bank umum pada kelompok BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha) 1 atau bermodal inti Rp1 triliun ke bawah pada tahun lalu turun dari Rp716 miliar pada 2017 menjadi Rp700 miliar. Posisi laba itu kian tergerus jika dibandingkan 2016 yang masih mencapai Rp861 miliar dan 2015 sebesar Rp1,5 triliun. Laba bank umum syariah pada kelompok yang sama malah mencatatkan rugi sebesar Rp19 miliar. (*/Dry)