Oleh: Andryanto S |
Kalau dulu dunia perbankan itu bisnis kepercayaan, sekarang mesti ditambah (menjadi) bisnis kepercayaan dan teknologi.
Indonesiainside.id, Jakarta — Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mewanti-wanti risiko dari perkembangan teknologi digital (digitalisasi) yang sangat pesat di sektor perbankan. Risikonya adalah akan ada pengurangan jumlah sumber daya manusia atau tenaga pekerja karena perusahaan jasa keuangan menggunakan lebih banyak teknologi dalam mengoperasikan bisnis mereka.
“Ke depan, semua tentu berubah. Dalam bisnis perbankan itu juga kemudian akan ada kehilangan pekerjaan, ada pekerjaan baru,” kata Wapres Jusuf Kalla di Jakarta, kemarin.
Oleh karena itu, lanjut dia, kecepatan berpikir menjadi solusi yang diperlukan untuk mewujudkan inovasi dalam perbankan, khususnya di bidang penyedia jasa keuangan.
“Kalau dulu dunia perbankan itu bisnis kepercayaan, sekarang mesti ditambah (menjadi) bisnis kepercayaan dan teknologi. Karena orang berpikir, kalau saya kirim uang dulu hitungannya hari, kemudian jam; sekarang detik,” ujarnya.
Wapres mendorong bank di Indonesia untuk mengembangkan inovasi terkait layanan jasa keuangan sehingga tidak tergerus oleh bisnis “fintech” (financial and technology).
“Sekarang ini tentu dibutuhkan lagi lebih canggih ilmunya karena saingannya ‘fintech’. Kalau dulu bank itu jadi kepercayaan, orang simpan (uang), kemudian bank kasih kredit. Sekarang, dari simpan ke kredit menjadi satu,” katanya.
Dengan perkembangan teknologi, kebutuhan masyarakat akan layanan jasa keuangan juga berubah. Masyarakat memerlukan kecepatan dalam memenuhi kebutuhan perbankan mereka, kata Wapres JK.
Banyaknya perusahaan rintisan atau “start-up business” yang muncul akhir-akhir ini harus bisa menjadi acuan bagi perbankan di Indonesia untuk mengembangkan bisnis jasa layanan keuangan mereka.
Sebelumnya, Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan) menyebut sudah ada 50.000 karyawan bank yang kena PHK atau Pemutusan Hubungan Kerja. Pasalnya, berkembangnya teknologi menjadi penyebab manusia kini digantikan oleh mesin.
Narahubung dari Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan Abdoel Mujib mengatakan gelombang PHK sudah terjadi sejak 2016 dan sampai akhir 2018 mungkin sudah 50.000 orang lebih.
Abdoel menuturkan, PHK terjadi karena efisiensi yang dilakukan perbankan yang mulai melek digital. Beberapa lini bisnis perbankan sudah tak lagi membutuhkan manusia untuk bekerja.
“Misalnya di bagian divisi penjualan atau sales itu ter-reduce (berkurang) hingga 80%. Kemudian, divisi pelayanan di mana teller-teller sudah ditinggalkan nasabah sehingga bank kurangi jumlahnya,” ungkapnya.
Hal ini juga terlihat dari banyaknya ATM khusus setoran atau Deposit Cash Machine. Menurut Abdoel, hampir separuh teller dan customer service yang paling terdampak.
Lebih jauh, serikat pekerja meminta regulator untuk bisa menerima keluhan dan ketakutan dari karyawan. Karena, sambung Abdoel jika menilik sesuai dengan dalam pasal 151 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) disebutkan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kami ingin ada grand design dari industri perbankan yang tetap memperhatikan karyawannya. Kami berharap PHK tidak terjadi ke depannya,” ungkap Abdoel. (*/Dry/Ant)