Oleh: Andryanto S |
Tingginya harga sapi di pasaran terjadi karena ada biaya-biaya tambahan, salah satunya biaya transportasi, sehingga daging sapi lokal setidaknya melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen.
Indonesiainside.id, Jakarta — Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah harus tetap memangkas rantai distribusi daging sapi lokal dan mendorong efisiensi bagi para peternak karena panjangnya distribusi tersebut memengaruhi harga sapi di pasaran.
Peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman mengatakan tingginya harga sapi di pasaran muncul karena ada biaya-biaya tambahan, salah satunya biaya transportasi, sehingga daging sapi lokal setidaknya melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen.
“Rantai distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi ke pedagang berskala kecil atau feedlot. Kemudian berlanjut ke pedagang berskala besar, pedagang regional, pedagang grosir di rumah potong hewan, pedagang grosir di pasar, pedagang eceran hingga ke konsumen. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah karena biaya-biaya tersebut pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen,” kata Ilman melalui keterangan tertulis di Jakarta, kemarin.
Ilman menjelaskan bahwa dengan adanya kesepakatan IA-CEPA yang salah satu poinnya membebaskan bea masuk untuk sapi impor dari Australia ke Indonesia, harus disikapi dengan positif. Meskipun begitu, akan ada penetapan batasan untuk jumlah sapi impor yang tidak terkena bea masuk.
Sementara itu, sistem distribusi daging sapi impor hanya membutuhkan maksimal dua titik distribusi untuk mencapai konsumen. Rantai distribusi ini tercipta karena daging sapi impor merupakan produk siap masak yang tidak membutuhkan tempat penggemukan hewan, rumah potong hewan dan para pedagang di tempat penampungan ternak sebelum dapat dikonsumsi.
Menurut Ilman, pengembangan ternak sapi di Indonesia juga seringkali menghadapi tantangan, seperti kurangnya kapasitas peternak serta minimnya penguasaan mereka terhadap teknik ternak dan teknologi yang efisien.
Ilman memaparkan, efisiensi peternakan dapat dimulai dengan adanya modernisasi praktik peternakan yang berfokus pada minimalisasi biaya produksi, antara lain melalui modernisasi alat pemotongan.
Ada juga peternakan lain di Indonesia yang walaupun sudah melakukan hal tersebut tapi masih harus mengeluarkan biaya produksi yang mahal karena memang minimnya skala keekonomian peternakan mereka (dipengaruhi oleh sedikitnya jumlah sapi dalam satu peternakan).
Selain itu, inovasi di bidang pakan ternak juga perlu gencar dilakukan. Karena peternak tidak memiliki kapasitas untuk berinovasi, perlu kerja sama antara peternakan dengan lembaga penelitian di bidang teknologi.
Contoh yang sudah ada adalah kerja sama serupa di Sumatra Utara antara peternak dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Terakhir, program yang menunjang pengelolaan risiko di industri peternakan sapi perlu terus digalakan. Satu contoh yang telah dijalankan adalah Fasilitas Asuransi Usaha Ternak Sapi yang telah digalakan oleh Kementerian Pertanian.
CIPS menilai adanya kesepakatan IA-CEPA yang salah satu poinnya membebaskan bea masuk untuk sapi impor dari Australia ke Indonesia harus disikapi dengan positif.
Meskipun akan ada penetapan batasan untuk jumlah sapi impor yang tidak terkena bea masuk, pemerintah sebaiknya tetap memangkas rantai distribusi dan juga mendorong efisiensi beternak bagi para peternak sapi lokal. (*/Dry/Ant)