Oleh: Ahmad ZR |
Indonesiainside.id, Jakarta — Mendapatkan pekerjaan yang layak adalah hak setiap warga negara Indonesia. Sayangnya, setelah lebih dari tujuh dasawarsa merdeka, persoalan tingkat pengangguran dan penduduk yang bekerja di sektor informal belum juga terselesaikan.
Memang ada beberapa indikator ketenagakerjaan yang mengalami perbaikan, namun tidak sedikit pula pemburukan terjadi, akibat minimnya kehadiran egara untuk mencarikan solusi. Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and fnance) M Fadhil Hasan menyampaikan sejumlah catatan kritis atas perkembangan situasi ketenagakerjaan terkini.
Pertama, penurunan tingkat pengangguran kian lamban. Sejak 2007, tingkat pengangguran terbuka berada pada single digit (9,11 persen), namun penurunan tingkat pengangguran kian lamban. Jika dibagi dalam periode kepemimpinan nasional, maka tingkat pengangguran di Era SBY-JK turun 3,37 persen (2,94 juta jiwa), dari November 2015 sebesar 11,24 persen (11,90 juta pengangguran) ke 7,87 persen (8,96 juta pengangguran) pada Agustus 2009.
“Di Era SBY-Boediono turun 1,93 persen (1,72 juta jiwa). Sementara selama 4 tahun Era Jokowi-JK turun sebesar 0,84 persen (560,13 ribu jiwa), dari 6,18 persen (Agustus 2015) menjadi 5,34 persen (Agustus 2018),” kata Fadhil dalam konferensi pers pemanasan jelang debat ketiga; menyelesaikan masalah ketenagakerjaan di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (14/3).
Kedua, menurut Fadhil, pengangguran ‘terampil’ dan ‘terdidik’ mengalami peningkatan. Sebagian besar pengangguran merupakan lulusan SMU (27,57 persen) dan SMK (24,74 persen). Di samping itu, pengangguran dari lulusan Universitas juga cukup besar (10,42 persen).
Tingkat pengangguran dari SMK dan Universitas mengalami tren kenaikan sejak 2013.
Hal Ini menggambarkan sektor-sektor ekonomi yang memerlukan keahlian dan keterampilan di Indonesia khususnya sektor industri manufaktur tumbuh lambat sehingga daya serap bagi angkatan kerja terlatih dan terdidik rendah. Di sisi lain, pekerja berdasarkan pendidikan pun sebagian besar hanya lulusan SMP ke bawah.
“Ini juga menggambarkan daya saing dan produktivitas yang rendah dalam perekonomian. Sebagian besar pekerja ini menggantungkan hidup di sektor pertanian yang kontribusinya semakin kecil dalam pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Ketiga, jelas Fadhil, industri turun, angkatan kerja tak tertampung. Deindustrialisasi menyumbat aliran angkatan kerja untuk terserap di pasar tenaga kerja. Akibatnya banyak lulusan berpendidikan menengah (SMU, SMK, dan Universitas) tidak tertampung secara memadai seiring lambatnya pertumbuhan industri.
“Di sisi Iain pertumbuhan sektor jasa yang kian meningkat terlalu kedap terhadap penyerapan tenaga kerja,” jelasnya.
Keempat, pengangguran dl desa meningkat. Dana desa belum menjadi obat mujarab. Tingkat pengangguran di desa naik dart 4,01 persen (2017) ke 4,04 persen (2018). “lni mengindikasikan dana desa belum berpengaruh terhadap penciptaan Iapangan kerja di desa,” ujarnya.
Kelima, defisit investasi padat karya. Tren investasi yang cenderung padat modal membuat penciptaan kesempatan kerja semakin sulit dilakukan. Pada 2013-2014 rata-rata penyerapan tenaga kerja dr investasi PMDN-PMA sekitar 1,4 juta, namun pada 2018 hanya sekitar 930 ribu.
“Akhirnya, sektor jasa informal jadi ‘pelarian’ atas sulitnya mendapat pekerjaan, baik karena hambatan kapasitas maupun lowongan kerja yang terbatas,” jelasnya.
Keenam, situasi Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga tidak jauh beda. Rendahnya remitansi dibanding negara lain menjadi indikasi kualitas pekerjaan para pekerja migran yang tergolong rendah, seperti pembantu rumah tangga, kuli bangunan, dan buruh kasar lainnya. Pahlawan devisa ini seolah tidak punya pilihan selain menjadi PMI di sektor-sektor yang ‘tidak menarik’ akibat sulitnya mencari kerja di dalam negeri.
“Ada moratorium tapi tidak menjadi ajang evaluasi tuntas kebijakan menempatkan dan memperbaiki kualitas PMI,” ujar dia.
Ketujuh, efektifitas pelatihan rendah. Dari sisi kebijakan meningkatkan kualitas keterampilan para calon tenaga kerja pun terlihat efektifitas pelatihan yang rendah. Dari sekitar 7juta pengangguran di Indonesia saat ini, sekitar 1 juta Iebih penggangguran tersebut pernah mengikuti pelatihan ataupun sertifikasi.
“Artinya, tidak ada jaminan bahwa setelah ikut pelatihan akan dapat pekerjaan. Sarana dan materi pelatihan perlu adaptif mengikuti dinamika yang berkembang di pasar tenaga kerja,” paparnya.
Kedelapan, produktivitas tenaga kerja rendah. Hal ini terlihat dari rendahnya Total Factor Productivity (TFP) Indonesia dibanding negara lain. Apalagi jika TFP tersebut dipilah dalam klasifikasi yang berbasis IT dan Non IT, maka akan semakin terlihat rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia.
“Di samping itu, belum ada link and match kebijakan industri 4.0 dengan tenaga kerja yang perlu disiapkan dalam menangkap peluang di era digitalisasi ekonomi, dilihat dari TFP IT capital deepening Indonesia belum siap,” ungkap Fadhil.
Kesembilan, kebijakan pengupahan acak-acakan. Ketiadaan hubungan antara peningkatan upah tenaga kerja dengan output dan produktivitas. Kenaikan upah terjadi lebih karena desakan politik (pemerintah, buruh dan dunia usaha). bukan berdasarkan peningkatan produktivitas. Lebih dari itu, formula upah di daerah tidak relevan, karena upah tinggi namun pengangguran masih cukup tinggi.
“Kenaikan upah di berbagai daerah tidak sebanding dengan penurunan jumlah pengangguran. Hal ini mengindikasikan sistem kebijakan pengupahan masih menjadi bottlenecking bagi tumbuhnya dunia usaha di daerah,” terang Fadhil.
Kesepuluh, dalam aspek jaminan sosial ketenagakerjaan, kepesertaan menyeluruh (coverage) yang masih rendah menjadi ’batu sandungan’ mewujudkan kesejahteraan pekerja.
“Kepesertaan SJSN ketenagakerjaan pada 2019 ditargetkan 62,4 juta pekerja, namun sampai 2018 baru sekitar 48,4 juta pekerja, sehingga sulit dicapai,” jelasnya.
Maka itu, INDEF memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, yaitu urgensi mendorong investasi padat karya. Kebijakan investasi perlu mengarah pada struktur ketenagakerjaan yang ada di Indonesia agar investasi yang masuk (baik domestik maupun asing) sebagian besar menjadi solusi atas cukup besarnya penggangguran yang ada saat ini.
“Kedua, pelatihan ataupun sertifikasi tidak cukup, perlu ada upaya mendorong kebijakan dari sisi permintaan (demand), yaitu ketersediaan lapangan kerja. Sebab, jika lebih fokus pada sisi penawaran, dikhawatirkan akan terjadi banyak pengangguran dilatih tetapi setelah itu tidak terserap di pasar kerja danjustru menjadi beban negara akibat kebijakan ’mensubsidi’ para pencari kerja,” paparnya.
Ketuga, untuk memperbaiki struktur keténagakerjaan di level SMK, perlu ada upaya perampingan SMK, yang tidak terakreditasi perlu dimerger; pendidikan vokasi tertintegrasi dengan pengguna (user); serta jurusan tidak relevan dengan jaman dihilangkan.
Keempat, perlu mendorong peningkatan kapasitas pada para pekerja lulusan SMP ke bawah. Hal ini penting karena struktur tenaga kerja di Indonesia sebagian besar di ketegori ini.
Dan kelima, perlunya pemetaan sektor-sektor yang menjadi ‘incaran’ para pekerja migran yang memiliki keahlian dan keterampilan tertentu seperti kesehatan, otomotif dan lain-lain. “Sehingga, kualitas pekerja migran yang dikirim dapat meningkat,” pungkasnya. (*/Dry)