Oleh: Andryanto S
Indonesiainside.id, Jakarta – Pendiri dan komisaris Jababeka, S.D Darmono, menilai upaya pengambilalihan kendali perusahaan secara tidak lazim (hostile takeover) dapat berakibat buruk yakni merusak tatanan perusahaan. Hal itu juga mestinya menjadi perhatian khusus seluruh pemangku kepentingan.
“Pengambilalihan kalau yang lazim pemegang saham baru mesti tender offer atau beli saham pengendali. Tapi yang tidak lazim, itu sering disebut hostile takeover. Dengan uang kecil, dengan mempengaruhi banyak orang, kemudian mengambilalih perusahaan yang sehat, itu dikenal juga dengan LBO (leverage buy out/LBO),” ujar SD Darmono di Menara Batavia, Jakarta, Senin (12/8).
Menurut dia, hostile takeover sangat diawasi oleh otoritas keuangan. Sebab, hal itu bisa merusak tatanan perusahaan. Pada intinya, lanjut dia, spirit perseroan murni untuk melindungi pemegang saham secara keseluruhan.
Seperti diketahui, Jababeka sedang menghadapi kisruh kepemimpinan. Perselisihan ini mengemuka dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan pada 26 Juni 2019. Dalam RUPST tersebut, disetujui pengangkatan Sugiharto sebagai direktur utama dan Aries Liman sebagai komisaris Jababeka yang baru. Saat voting itu, dua pemegang saham Jababeka yakni PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank (IDB) memberikan kuasa masing-masing kepada Iwan Margana dan Pratama Capital Assets Management.
Pengangkatan Sugiharto dan Aries Liman inilah yang diprotes manajemen lama. Sebanyak tujuh pemegang saham Jababeka pun mengajukan gugatan hukum atas keputusan hasil RUPST tersebut. Ketujuh pemegang saham tersebut antara lain Lanny Arifin, Handi Kurniawan, Wiwin Kurniawan, Christine Dewi, Richard Budi Gunawan, Yanti Kurniawan dan PT Venturindo Kapitanusa.
Yozua Makes, penasihat hukum Jababeka, menjelaskan gugatan dari pemegang saham tersebut pada intinya punya empat poin utama. Pertama, tidak adanya rekomendasi komite remunerasi. Kedua, adanya kuasa kuasa yang tidak sah pada waktu diadakan RUPS. Selanjutnya, adanya keberatan dari pihak kontraktor yang berpotensi mengakibatkan proyek terganggu. Poin keempat, dari RUPS ini terjadi indikasi mengakibatkan change of control.
Menurut Yozua, RUPS tanggal 26 Juli 2019 sah, tapi agenda kelima yakni perubahan direksi dipertanyakan. “RUPS 26 Juli sah, yang dipertanyakan adalah agenda kelima (mengenai perubahan direktur utama dan komisaris),” ungkapnya.
Pergantian direktur utama, menurutnya harus melalui rekomendasi dewan komisaris, itulah yang tidak dijalankan manajemen baru di bawah Sugiharto. “Saya tegaskan posisi daripada perseroan, ini bukan bicara mengenai kubu-kubuan, kita bicara mengenai penerapan good corporate governance (GCG),” kata Yozua.(*/Dry)