Oleh Andryanto S
Indonesiainside.id, Jakarta – Sedikitnya tujuh asosiasi di sektor teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technologies/ICT) memprotes kebijakan pemerintah yang dinilai tidak konsisten karena menyetujui revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Implikasi dari disetujuinya revisi PP 82, sekitar 90% data di Indonesia akan kabur ke luar negeri.
Ketujuh asosiasi itu adalah Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO), Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI), Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII), Asosiasi Peranti Lunak Telematika Indonesia (ASPILUKI), Indonesia ICT Institute, dan induk asosiasi sektor ICT Indonesia, dan Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL). Mereka menilai draft revisi PP No 82 yang diperoleh dari PPID Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sangat bertentangan dengan semangat Presiden Jokowi.
Kontradiksi isi Draft Revisi PP 82/2012 dengan Perintah Presiden untuk melindungi data masyarakat Indonesia terletak pada Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi: “Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dapat mengelola, memproses dan/atau menyimpan Sistem Elektronik dan Data Elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.”
Dengan bunyi ayat di atas, maka yang akan terjadi adalah negara tidak akan dapat melindungi “data kita” (data masyarakat Indonesia) karena Pemerintah memberikan lampu hijau kepada Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dan aplikasi-aplikasi yang berasal dari negara lain untuk bisa menyimpan data di luar wilayah Indonesia. Hal itu berarti isi Revisi PP 82/2012 sangat bertentangan dengan arahan Presiden.
Implikasi lain dengan memperbolehkan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat untuk memproses dan menyimpan data di luar wilayah Indonesia adalah potensi 90% data di Indonesia akan lari ke luar wilayah Indonesia. Hal ini akan berimplikasi besar dari aspek politik, keamanan, ekonomi, budaya, pertahanan Indonesia di era ekonomi data, mengingat sampai saat ini Indonesia belum mempunyai aturan perlindungan data yang memadai.
“Jangan sampai infrastruktur Palapa Ring yang baru diresmikan oleh Presiden Jokowi malah menguntungkan pihak asing untuk mengambil data dari masyarakat Indonesia dengan lebih cepat dan mudah, kita harus melindungi data sebagai sebuah kekayaan negara. Kami berharap Presiden Jokowi dalam kabinet barunya bisa mempunyai pembantu yang bisa menterjemahkan keinginan Presiden dengan lebih baik, bukan malah membuat aturan yang bertolak belakang dengan kemauan Presiden,” ujar Alex Budiyanto, Ketua Umum ACCI, dalam keterangan tertulis yang diterima Indonesiainside.id di Jakarta, Kamis (17/10).
Sedangkan Heru Sutadi, Executive Director Indonesia ICT Institute, menilai PP 82 menjadi acuan beberapa sektor. Selama ini aturan tersebut memberikan banyak kontribusi positif, terutama investasi. “Kalau direvisi harus diperhitungkan konsekuensinya karena revisi akan berdampak kepada infrastruktur ekonomi digital Indonesia yang diperkirakan bisa beralih ke luar negeri. Australia, Singapura dan Uni Eropa bisa dijadikan contoh yang menerapkan kebijakan yang mengharuskan data center ditempatkan di dalam negeri,” paparnya.
“Isu PP-82 adalah masalah kedaulatan data, penegakan hukum, dan sekaligus jalan masuk persamaan perlakuan dalam pajak. Isu ini mestinya pemerintah lah yang lebih concern menjaganya. Ini kebalik, asosiasi dan komunitas yang malah concern dan berulangkali mengingatkan Pemerintah. IDPRO mendesak Pemerintah menunda pengesahan draft tersebut karena mayoritas komunitas TIK di Indonesia belum sepakat dengan draft isi tersebut, Isi revisi masih banyak yang perlu diperbaiki karena sebenarnya revisi PP 82/2012 bisa menjadi jalan masuk untuk memperbaiki ekosistem ekonomi digital di Indonesia,” ujar Hendra Suryakusuma, Ketua Umum IDPRO.
“Revisi PP 82 justru menutup kesempatan bagi warga negaranya untuk mendapatkan perlindungan data. Kedaulatan negara sangat dipertaruhkan apabila revisi PP 82/2012 diundangkan tanpa kita memiliki regulasi perlindungan data yang memadai,” tegas Andi Budimansyah, Ketua Umum FTII.(*/Dry)