Indonesiainside.id, Jakarta – Defisit neraca perdagangan menutup masa kerja pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada periode pertama. Menjadi salah satu daftar pertama pekerjaan rumah pada masa pemerintahannya berikutnya.
Tekanan neraca dagang diperkirakan akan semakin berat seiring perlambatan ekonomi global dan ancaman resesi di sejumlah negara. Inilah yang menjadi salah satu tantangan mimpi perekonomian Jokowi-Ma’ruf Amin ke depan.
Pada periode pertama Jokowi-Jusuf Kalla, transaksi perdagangan Indonesia tak menorehkan hasil yang gemilang. Bahkan, pada 2018, neraca perdagangan ambruk dengan defisit terdalam sepanjang sejarah Indonesia.
Hingga Jokowi-JK tutup buku neraca dagang masih mengalami tekanan. Setidaknya dari Januari hingga September 2019, perdagangan Indonesia mengalami tekor hingga USD1,94 miliar atau Rp121,7 triliun, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Mantan Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto digadang-gadang akan dijagokan Jokowi di kabinet mendatang untuk menyelesaikan persoalan ini. Sebagaimana diakui Airlangga usai memenuhi panggilan Jokowi di Istana Merdeka, kemarin (21/10).
“Ke depan itu bagaimana kita mengisi kondisi serta mengurangi defisit neraca perdagangan,” kata Airlangga. Ia juga membahas pengembangan Kawasan Ekonomi yang diharapkan bisa menciptakan baik industri unggulan untuk mengurangi kerugian neraca.
“Insya Allah nanti diumumkannya hari Rabu. Jadi tunggu hari Rabu besok (23/10). Jadi Insya Allah kami sudah menyatakan siap untuk mendukung Pak Presiden, Pak Jokowi-Maruf Amin sampai periode 2024,” katanya yang masih merahasiakan apa posisinya.
Deifisit Terparah Sepanjang Sejarah
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), pada pertengahan Januari silam mengakui bahwa defisit neraca perdagangan 2018 disebabkan karena impor minyak dan gas (migas) terlalu besar. Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan migas sepanjang tahun lalu tekor USD12,4 miliar.
Nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit USD8,57 miliar sepanjang tahun lalu. JK menekankan, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk menekan defisit adalah dengan meningkatkan kapasitas produksi migas dalam negeri.

Sementara, Ekonom senior Indef, Faisal Basri menilai, selain migas, defisit juga disumbang sejumlah sektor non-migas yang total impornya naik tiga kali lipat, dari total kenaikan nilai ekspor.
Faisal menilai langkah pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir ikut berkontribusi memperparah defisit. Sebab, pembangunan infrastuktur turut mengangkat nilai impor bahan baku dengan sangat tajam.
“Jadi oke, ada efek dari impor yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur. Seperti misalnya baja, itu meningkatnya tajam sekali,” kata Faisal.
Impor barang dari besi dan baja dengan kode HS73, misalnya mencapai USD3,88 miliar atau naik 48% dari tahun 2017 . Sementara impor besi dan baja dengan kode HS72 meningkat 28% yoy menjadi USD10,24 miliar.
Pembangunan Infratsruktur Belum Manjur
Presiden Jokowi menggadang-gadang pembangunan infrastruktur bisa mendongkrak petumbuhan ekonomi. Sayangnya, Presiden dinilai terlalu percaya diri. Menurut catatan BPS, pertumbuhan ekonomi justru stagnan di kisaran 5%.
Sudah ‘berdarah-darah’ impor komoditas untuk pembangunan pun di 2018 pertumbuhan ekonomi tidak ikut melonjak. BPS mencatat, hingga Semester I 2019, pertumbuhannya justru turun menjadi 5,06% dari 5,17% dengan periode yang sama tahun lalu.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menyarankan agar pembangunan ekonomi ke depan tak bertumpu pada satu sektor. Dia meminta pemerintah menata ulang desain pembangunan infrastruktur.
Meskipun pembangunan infrastruktur dinilai berhasil, Piter menyebut dampaknya belum terlalu signifikan bagi pertumbuhan ekonomi. Kecuali hanya kelancaran keperluan mudik.
Piter menjelaskan, fokus infrastruktur Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada priode pertama justru mengabaikan sektor lainnya. Padahal, menurutnya, apa yang dianggap baik bagi Jokowi belum tentu baik bagi pertumbuhan ekonomi.
“Salah satu yang disayangkan yang ditinggalkan adalah industri. Sektor industri, zaman Pak Jokowi sudah turun, meski tak bisa disalahkan sepenuhnya karena penurunan terjadi sekitar sepulu tahun yang lalu,” papar Piter.
Namun, sayangnya lagi, pemerintah tak bisa mengerem laju penurunan. Pertumbuhan PDB industri stagnan di kisaran 5%, lebih rendah dibanding negara-negara lainnya yang tumbuh mencapai 20%. (*/Dry)