Indonesiainside.id, Jakarta — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo yang baru dilantik akan memperkuat konsolidasi internal untuk mengawal penerimaan pajak di sisa tahun 2019. Langkah itu dilakukan seiring dengan dengan adanya potensi penerimaan pajak tahun ini bisa meleset jauh dari target.
“Kami akan konsolidasi dulu, kira-kira seperti apa untuk melanjutkan yang kemarin. Kita juga re-mapping kembali yang bisa dipercepat yang mana,” ujar Suryo di Jakarta, Jumat (1/11).
Suryo mengatakan fokus terhadap penerimaan ini sangat penting karena pendapatan dari sisi pajak mengalami tekanan dan berpotensi meleset jauh dari target. “Ke depannya adalah menyelesaikan 2019 dulu yang ada di depan mata. Action dan effort akan kita lakukan,” ujar mantan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak ini.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengingatkan Suryo bahwa beban kerja sebagai pemimpin tertinggi di otoritas pajak sangat berat karena 70 persen penerimaan APBN berasal dari pajak.
Untuk itu, ia mengharapkan Suryo yang telah memiliki kompetensi, dapat bekerja secara ikhlas, cepat, efisien dan mempunyai integritas dalam melaksanakan tugas. “Indonesia maju apabila seluruh pejabat dipilih adalah mereka yang memiliki dan komitmen terhadap integritas,” ujar Sri Mulyani.
Suryo Utomo yang merupakan pejabat karir Kementerian Keuangan terpilih sebagai Direktur Jenderal Pajak menggantikan Robert Pakpahan yang telah memasuki masa pensiun. Selain menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan sejak 2015, Suryo pernah menduduki beberapa jabatan strategis di Direktorat Jenderal Pajak.
Suryo pernah menjadi Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar I pada 2008, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Tengah I pada 2009, Direktur Peraturan Perpajakan I pada 2010 dan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian pada 2015.
Pria kelahiran Semarang, 26 Maret 1969 ini meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Diponegoro pada 1992 dan Master of Business Taxation di University of Southern California, Amerika Serikat, pada 1998.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai direktur jenderal pajak baru harus mampu menghadapi tekanan politik yang dapat mengganggu kinerja lembaga yang dipimpinnya berfungsi dengan optimal.
“Tekanan politik akan menyebabkan kebijakan pajak yang distortif dan menghasilkan penerimaan yang tak optimal. Oleh karenanya dirjen pajak harus mampu mengatasi tekanan politik dalam tingkat kebijakan maupun pemungutan,” ujar Yustinus.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, dalam sepuluh tahun terakhir, target penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Pada 2018 lalu, capaian penerimaan pajak terhadap target hanya mencapai 92,41 persen. Tiga tahun sebelumnya bahkan di bawah 90 persen yaitu 89,68 persen pada 2017, 81,6 persen pada 2016, dan 81,9 persen pada 2015.
Apalagi pada 2020, menurut Yustinus, target penerimaan pajak sebesar Rp1.639,9 triliun terlalu optimistis di tengah stagnasi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dirjen pajak baru juga harus mampu membangun sinergi baik antara kantor pusat dengan wilayah maupun antar kantor wilayah. “Tak hanya itu, sinergi juga diperlukan dengan kementerian lain dan juga pihak swasta,” ujar Yustinus. (*/Dry/Ant)