Indonesiainside.id, Jakarta — Bayang-bayang resesi menggelayuti laju perekonomian dunia. Kabinet Indonesia Maju yang dilantik sebulan lalu mengawali kiprahnya di tengah situasi ekonomi global yang tidak ideal.
Pemangkasan target pertumbuhan 2020 terjadi di berbagai negara maju dan negara berkembang. Perang dagang Amerika Serikat dengan China, ekonomi Eropa pasca Brexit, hingga gejolak geopolitik masih saja menjadi ‘batu sandungan’ yang membuat laju pemulihan perekonomian global berjalan lamban.
“Ekonomi Indonesia juga tidak kebal dari virus resesi global. Laju pertumbuhan ekonomi pada dua triwulan terakhir yang melambat, mengindikasikan bahwa risiko resesi dapat menjalar ke dalam negeri,” ujar Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya. dalam laporannya, Proyeksi Ekonomi Indonesia 2020: Kabinet Baru dan Ancaman Resesi Ekonomi, Selasa (26/11).
Indef memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot ke level 4,8 persen. Indef berharap, serangkaian ”amunisi’ kebijakan trobosan mampu menahan perlambatan danmengakselerasi perekonomian.
“Kolaborasi petahana dan wajah baru di tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju diharapkan tidak sebatas memberi secercah harapan, namun benar-benar dapat merealisasikan target-target pembangunan,” harap Berly.
Indef memaparkan analisis gejala resesi ekonomi global yang bisa saja menimpa Indonesia ke depan. Saat ini, perekonomian global disebut menunjukkan tanda-tanda resesi.
Musim pemangkasan proyeksi laju pertumbuhan ekonomi melanda hampir seluruh negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang juga kesulitan mendongkrak perekonomian.
Beberapa gejaia resesi tersebut terindikasi dari fenomena kurva imbal hasil yang terbalik (inverted yield curve) di pasar obligasi Pemerintah AS. Sejarah resesi AS umumnya dimulai dengan gejala kurva yield terbalik atas surat utang AS bertenor 2 tahun dan 10 tahun.
“Artinya, yield obligasi pemerintah AS bertenor jangka panjang (10 tahun) justru lebih kecil dibandingkan yield obligasi jangka pendek (2 tahun) yang biasanya menjadi tanda-tanda awal resesi,” papar Berly.
Kedua, dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi, the Fed mulai mengoreksi suku bunga acuan. Sehingga aliran modal jangka pendek (hot money) kembali datang ke negara-negara Pasar berkembang. Nilai tukar mata uang domestik cenderung menguat. namun secara fundamental justru semakin rentan.
Kemudian, gejo|ak perang dagang AS-China berimbas pada pertumbuhan dan perdagangan dunia. Permintaan ekspor melambat (terutama pada ekspor komoditas), yang diikuti dengan penurunan investasi langsung.
“Hubungan dagang Jepang-Korea Selatan pun memanas, sehingga memengaruhi prospek ekonomi di Kawasan Asia,” tuturnya.
Lalu ekonomi Uni Eropa dipandang belum mampu bangkit dari zona degradasi, justru malah semakin menunjukkan ke arah pelemahan. Pertumbuhan ekonomi Eropa menunjukkan perlambatan dari 1,7 persen persen (2019: I) menjadi 1,4 persen persen (2019: II).
Terakhir pada kuartal 3, angka pertumbuhan masih sama dengan kuartal 2 sebesar 1,4 persen. Jerman yang digadang-gadang menjadi mesin penggerak ekonomi Eropa pasca Brexit, masih terseok.
Dengan porsi 21 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Uni Eropa. Kemungkinan Jerman jatuh dalam jurang resesi mencapai hampir 60 persen (Macroeconomic Policy Institute, 2019).
Terakhir, berlanjutnya perlambatan ekonomi China. Pertumbuhan ekonomi China pada 2019: II hanya sebesar 6,2 persen. Angka pertumbuhan ini merupakan level terendah dalam tiga dekade terakhir. (*/Dry)