Indonesiainside.id, Jakarta – Kalangan produsen menuntut janji penyerapan minyak sawit berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) di pasar global. Setiap tahun, penjualan CSPO di bawah 50% yang berakibat oversuplai CSPO dan tidak adanya premium price bagi konsumen. Walaupun, produsen sudah mampu memenuhi prinsip dan kriteria sertifikat berkelanjutan sesuai permintaan negara maju terutama Eropa.
“RSPO tidak membela kepentingan industri sawit baik produsen dan petani. Yang terjadi, tekanan terus diberikan. Saat harga turun ataupun tidak ada premium price. Mereka tidak membela anggotanya,” kata Maruli Gultom, Pengamat Perkelapasawitan, saat menjadi pembicara dalam Diskusi “Evaluasi Penyerapan CPO Bersertifikat di Pasar Global” di Gedung Pusat Informasi Agribisnis (PIA) Kementerian Pertanian, Selasa (26/11).
Maruli Gultom menengarai sertifikasi RSPO lebih banyak memuat kepentingan business to business. Buktinya, anggota RSPO harus membayar iuran setiap tahun. Mahalnya biaya sertifikasi dan surveillance menjadi bukti RSPO lebih banyak bersifat bisnis.
“Produsen mau saja bayar untuk dipermalukan oleh NGO dalam forum tahunan. Kalaupun ingin menerapkan prinsip sustainable tidak perlu menjadi anggota RSPO,” ujarnya.
Ia pun mempertanyakan siapa yang bertanggungjawab ketika premium price tidak terwujud. Harusnya sertifikasi ini memberikan nilai tambah bagi pesertanya. Tetapi faktanya sangatlah berbeda. Penolakan sawit di Eropa bukanlah persoalan merusak lingkungan tetapi persaingan energi dengan produk minyak nabati yang diproduksi Eropa seperti kedelai, rapeseed, dan sun flower.
Yang harus dipahami bahwa tidak semua konsumen di Eropa mau membayar premium price bagi produk minyak sawit berkelanjutan. “Siapa yang bertanggungjawab ketika premium price tidak ada (bagi produsen dan petani sawit),” ungkapnya. (*/Dry)