Indonesiainside.id, Jakarta — Pengusaha industri alas kaki mengaku sedang mengalami tekanan yang berat tahun ini. Ekspor mereka ambles dan daya saing industri yang melemah.
Beban mereka bertambah berat dengan banjirnya produk alas kaki impor dan sistem pengupahan saat ini yang naik 8,51 persen yang dinilai tak sesuai. Kondisi ini mendorong pengusaha alas kaki melakukan relokasi usahanya.
Bulan lalu, Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) mengumumkan adanya relokasi sejumlah industri sepatu dari Banten ke Jawa Tengah. Relokasi dilakukan seiring naiknya Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan kewajiban membayar Upah Minimum Sektoral (UMSK).
Direktur Eksekutif Aprisindo, Firman Bakri mengatakan, mahalnya upah membuat industri tak kompetitif. Sehingga, mau tidak mau pelaku usaha merelokasi ke daerah lain.
“Itu daerah yang secara ekonomi rendah dan upah minimum masih kompetitif. Dengan seperti itu kita ingin supaya upah minimum jadi nasional interest,” katanya ditemui Indonesiainside.id di Jakarta Pusat, Rabu (11/12).
Dia menjelaskan, Banten dirasa tak lagi nyaman karena pengusaha memiliki dua beban tambahan. Mereka memenuhi UMK Rp4,1 juta, ditambah lagi beban UMSK yang jumlahnya variatif Rp50.000-Rp100.000 per orang per bulan.
Dia meminta kewenangan UMSK tak lagi dipegang daerah dan dialihkan ke pemerintah pusat. Dia merasa kebijakan UMSK ini hanya menjadi bancakan politik elektoral di daerah.
“Kalau tidak mau terjadi seperti yang di Banten, UMSK masih dijadikan dagangan politik elektoral, ya kita pasti akan selalu dirugikan. Kalau terus-terusan seperti itu mending dialihkan ke pusat,” kata dia. (*/Dry)