Indonesiainside.id, Jakarta – Heboh Perum Bulog akan membuang 29.367 ton cadangan beras pemerintan (CBP). Bikin pusing pemerintah dan Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas).
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, mengatakan, akan melelang sekitar 20.000 ton CBP yang telah dinyatakan disposal. Penetapan itu berdasarkan hasil laboratorium Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta rekomendasi menteri pertanian.
Gaung bersambut Presiden Jokowi langsung menggelar rapat t terbatas (Ratas) tentang CBP di Istana Negara Jakarta Pusat. Hasil rapat pemerintah memutuskan untuk melelang 20.000 ton CBP karena mutunya berkurang atau susut. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menutup selisih antara harga lelang dari pembelian di tingkat petani sebesar Rp8.000 per kilogram.
“Jadi nanti kan yang harganya Rp8.000 kita jual Rp5.000, berarti yang kekurangannya Rp3.000 itu yang menanggung Menteri Keuangan,” ujar Buwas.
Meski pada akhirnya beras tersebut tidak jadi dibuang, namun dilelang untuk diolah menjadi produk lain seperti tepung, pakan ternak, atau ethanol.
Dari 12 peserta lelang yang mengajukan penawaran ke Perum Bulog, dimenangkan oleh PT Zona Eksekutif Linear, perusahaan yang bergerak di bidang industri lem furniture.
Budi mengatakan ketentuan pelepasan CBP sudah diatur dalam Permentan 38/2018 tentang pengelolaan cadangan beras pemerintah.
Adapun Permentan 38/2018 pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa pelepasan CBP dilakukan apabila CBP telah (a) melampaui batas waktu simpan paling sedikit 4 bulan dan atau (b) berpotensi atau mengalami penurunan mutu.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Tri Wahyudi, mengungkapkan beberapa penyebab penyaluran beras tersebut terhambat sehingga mutu beras menjadi menurun. “Banyak faktor, ada di satu daerah yang kena banjir, itu berpengaruh,” ujar dia, di kantornya.
Dia mengungkapkan, salah satu gudang Bulog terkena banjir sehingga merusak kualitas beras yang tersimpan di sana.
Faktor kedua, pengalihan program beras sejahtera (rastra), ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). “Stok beras Bulog mencapai 2,3 juta ton. Sekarang jadi 300 ribu ton. Stok banyak dan mudah rusak. Coba taruh beras di rumah sebulan rusak tidak? Rusaklah,” tandanya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kualitas beras Bulog menurun. Pertama, beras disimpan terlalu lama di gudang. Hal ini berhubungan dengan terhambatnya distribusi beras Bulog dalam beberapa tahun terakhir.
Tahun 2017 Bulog menjadi penyalur program beras sejahtera (rastra). Namun, seiring bergantinya program rastra ke program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), perlahan alokasi beras Bulog menjadi berkurang drastis.
BPNT tak sepenuhnya memakai beras Bulog sebagaimana program rastra. Hal ini kemudian membuat beras CBP tertahan di gudang. Bulog hanya bisa mengeluarkan beras CBP melalui penugasan pemerintah.
“Kemarin Juni 2017 ada uji coba BPNT, alokasi rastra berkurang. Kemudian 2019 terakhir, rastra berhenti. Ini persoalan juga. Artinya ngga berjalan setelah ada transformasi dari rastra ke BPNT. Dari awal 2,3 juta ton sekarang menjadi 300 ribu ton dan beras itu barang mudah rusak,” kata Tri Wahyudi.
Faktor bencana alam turut mempengaruhi kualitas beras Bulog sehingga harus ‘dibuang’ dari gudang. Tri mengaku beras yang tersimpan di gudang Bulog di suatu daerah pernah terkena dampak banjir. “Kita pernah kebanjiran, kalau banjir itu kita lelang, tapi masih ada harganya, tidak ada yang benar-benar nol,” kata Tri Wahyudi.
Terncam bangkrut
Khudori, Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), menilai tanpa outlet penyaluran yang pasti, Perum Bulog justru ditugaskan untuk menyerap gabah petani. Maka dipastikan bakal membuat Bulog terancam bangkrut.
Menurutnya, saat ini keuangan Bulog sangat rentan. “Sangat potensial untuk bangkrut jika tidak ada solusi secepatnya,” ujar dia.
Dia menambahkan, tanda-tanda kebangkrutan itu mulai terlihat dari laporan Kementerian Keuangan Z-score Bulog 0,93 atau di bawah zona distress alias lampu merah, di bawah batas aman 1,3.
Dia menjelaskan, adanya perubahan porogram beras sejahtera (rastra) berubah menjadi BPNT mengakibatkan tidak ada penyaluran beras bersubsidi di hilir. Karena itu tidak relevan menugaskan Bulog menyerap gabah petani.
“Kalau pemerintah ingin konsisten, Bulog di hulu diwajibkan serap gabah petani, di hilir disiapkan outletnya. Atau sebaliknya di hilir tidak ada, maka hulu juga harus dihilangkan tugasnya,” tambah Khudori.
Pada saat rastra masih ada, Bulog berfungsi sebagai stabilitator harga gabah dan beras. “Apabila rastra disalurkan tepat waktu, harga gabah dan beras stabil. Inflasi juga terjaga,” katanya.
Sedangkan jika rastra terlambat dikucurkan harga beras di pasar langsung bergejolak. BPNT tidak ada lagi kewajiban keluarga penerima manfaat (KPM) mebeli beras Bulog, maka outlet penyalutran menjadi tidak ada.
“Ke depan kita tidak lagi mempunyai instrument stabilitasi harga beras. Saat ini tinggal program operasi pasar (OP), namun ini tidak efektif,” ujar dia.
Apakagi Perum Bulog hingga kini masih terlilit utang yang cukup besar. Hingga September 2019 utang Perum Bulog mencapai Rp 28 triliun, membengkak dibandingkan tahun 2017 lalu yang sebesar Rp13,2 triliun. (*/Dry)