Indonesiainside.id, Jakarta – Puluhan bank sentral di seluruh dunia membuka opsi untuk menerbitkan mata uang digital mereka sendiri dalam beberapa tahun mendatang. Hal itu terungkap dalam laporan survey yang dirilis oleh Bank for International Settlements (BIS), Kamis (23/1), seiring pesatnya era digitalisasi secara global.
Sekitar 20 persen dari 66 bank sentral yang disurvei oleh BIS mengatakan mereka kemungkinan akan mengeluarkan mata uang digital dalam enam tahun ke depan, naik dari sekitar 10 persen tahun sebelumnya. Satu dari 10 mengatakan mereka akan melakukannya dalam tiga tahun ke depan.
Secara keseluruhan, 80 persen bank sentral mengatakan mereka melihat teknologi tersebut mesti dirancang oleh otoritas yang berwenang. Ketika upaya Facebook untuk meluncurkan mata uang kripto Libra-nya memicu debat mengenai siapa yang akan mengendalikan uang di masa depan, negara-negara besar telah meningkatkan kecepatan mereka dalam melihat mata bank sentral mata uang digital (central bank digital currency/CBDC).
CBDC adalah uang tradisional, tetapi dalam bentuk digital, dikeluarkan dan diatur oleh bank sentral negara. Sebaliknya, mata uang kripto seperti bitcoin diproduksi dengan memecahkan teka-teki matematika yang rumit, dan diatur oleh komunitas daring sebagai kontra lembaga yang terpusat (desentralisasi).
Lima bank sentral, termasuk di Jepang, Inggris dan zona euro, mengatakan pada Selasa (21/1) mereka bergabung untuk mengkaji lebih lanjut penerbitan CBDC. Tantangan yang ditimbulkan oleh Libra kemungkinan telah menggerakkan langkah tersebut, menurut seorang mantan eksekutif bank sentral Jepang (BOJ).
Sebelum Facebook meluncurkan Libra pada Juni 2020, bank-bank sentral telah optimis tentang mata uang kripto, sebagian besar karena pasar mereka yang relatif kecil dan penggunaan yang terbatas oleh publik. Tetapi prospek pengguna Facebook yang mendekati 2,5 miliar menggunakan Libra, yang akan diluncurkan tahun ini, telah memicu kekhawatiran tentang dampak mata uang kripto yang banyak digunakan dan dikelola secara pribadi terhadap kontrol negara atas kebijakan moneter.
Namun, BIS menemukan bahwa hanya sekitar 10 persen – semuanya dari ekonomi pasar berkembang – telah mengembangkan proyek percontohan atau mulai melihat pertanyaan operasional atau hukum seputar CBDC, yang menunjukkan bahwa teknologi tersebut masih jauh dari implementasi.
“Tidak ada bukti gerakan luas atau umum untuk memperluas penelitian ini menjadi eksperimen dan pilot percontohan,” katanya.
Dari bank sentral yang disurvei oleh BIS, sekitar sepertiga berasal dari negara maju dan sisanya dari pasar negara berkembang. Mereka yang berasal dari negara berkembang cenderung memiliki motivasi yang lebih kuat untuk mengeluarkan CBDC yang dapat bertindak sebagai pengganti atau pelengkap uang kertas, kata BIS, sebagian karena kekhawatiran atas efisiensi dan keamanan pembayaran menggunakan uang tunai tradisional. Bank sentral Hong Kong dan Thailand mengatakan pada Rabu (22/1) mereka juga telah bergerak lebih dekat untuk menggunakan CBDC untuk pembayaran lintas batas lebih efisien.(*/Dry/Ant)