Indonesiainside.id, Jakarta – Faktor keamanan pangan atau food safety semakin dapat perhatian konsumen. Masyarakat sekarang lebih sadar soal keamanan dan kesehatan dari makanan yang dikonsumsinya. Untuk itu, industri minyak sawit yang berperan penting dalam konsumsi produk makanan seperti biskuit, coklat, es krim, dan roti perlu memenuhi standar keamanan pangan.
“Sosialisasi kepada industri minyak sawit atas kebutuhan mitigasi terhadap 3-MCPD untuk food safety sangatlah penting dan harus menjadi prioritas,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Jumat (7/2).
Menurut Airlangga, hal ini disebabkan oleh kenaikan standar dari pasar global, antara lain kebijakan Uni Eropa tentang batas maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm untuk minyak sawit jika ingin digunakan sebagai bahan makanan. Kebijakan ini akan diterapkan mulai Januari 2021. Namun, Uni Eropa sendiri menerapkan batas 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di negara anggotanya.
Sebelumnya, CPOPC telah menyatakan keberatan atas kebijakan dua batas maksimum 3-MCPD UE tersebut, khususnya penetapan 1,25 ppm untuk minyak nabati yang diproduksi di sana. Pasalnya, batasan maksimum 3-MCPD sebesar 2,5 ppm adalah batas keamanan (safety level) yang dapat diterima untuk konsumsi.
Dengan demikian Uni Eropa juga perlu menerapkan satu batas maksimum yang berlaku untuk semua minyak nabati. “Konsumen akan disesatkan untuk percaya bahwa minyak sawit itu lebih buruk daripada minyak nabati yang sebenarnya memiliki batas 3-MCPD lebih rendah,” ujar Airlangga.
Menurut Menko Airlangga, negara-negara CPOPC atau Dewan Negara Produsen Sawit dengan tegas menolak kebijakan Uni Eropa tersebut. Terutama karena keputusan terhadap proposal pemisahan dua level maksimum tersebut akan disahkan hari ini di Brussels, Belgia.
Di samping soal ekspor, tujuan membuat batasan yang adil dan jelas untuk 3-MCPD juga penting untuk melindungi pasar domestik. “Karena masyarakat adalah perhatian utama kami,” tambah Dia.
Dia pun menegaskan negara-negara CPOPC harus bersatu untuk mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit, termasuk kampanye negatif yang dilakukan beberapa negara lain. Misalnya, minyak sawit yang disebut sebagai minyak nabati hasil deforestasi.
“Di sini sebaiknya kita tak hanya memikirkan deforestasi, tapi juga masalah keberlanjutan lingkungan ketika memproduksi CPO. Semua pihak terkait, dari pelaku industri minyak sawit, peneliti sampai pemerintah, harus bergerak dalam usaha kolektif ini, sehingga dapat meningkatkan kualitas CPO dan produk konsumsi lainnya. Karena kita terapkan zero tolerance untuk food safety,” ujar Airlangga (*/Dry)