Indonesiainside.id, Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkap enam perusahaan diduga mengeskploitasi Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di atas kapal ikan asing. Dugaan ini berangkat dari investigasi bersama yang dilakukan oleh SBMI dengan Greenpeace Indonesia.
Enam perusahaan yanh disebut adalah PT. Puncak Jaya Samudra (PJS), PT. Bima Samudra Bahari (BSB), PT. Setya Jaya Samudera (SJS), PT. Bintang Benuajaya Mandiri (BBM), PT. Duta Samudera Bahari (DSB) dan (6) PT. Righi Marine Internasional (RMI).
Perusahaan-perusahaan ini terkait dengan salah satu atau lebih, dari 13 kapal ikan asing yang sebelumnya telah diungkap dalam laporan “Ketika Laut Menjerat: Perjalanan Menuju Perbudakan Modern di Laut Lepas” yang dirilis Greenpeace Asia Tenggara pada Desember 2019.
SBMI menyatakan Pemerintah Indonesia masih lalai dan gagal melindungi hak dan keselamatan ABK Indonesia. Kegagalan mendasar pemerintah berakar dan berpangkal dari lambatnya penerbitan aturan turunan UU 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang seharusnya selesai pada 22 November 2019.
Selain itu, pengawasan operasional terhadap puluhan perusahaan perekrutan dinilai masih lemah. Sehingga menyebabkan ABK mudah dieksploitasi dan akhirnya menjadi korban kerja paksa serta perbudakan modern di atas kapal ikan.
“Sudah banyak korban dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Ada sekitar 257 kasus terkait ABK Indonesia di basis data kami, belum lagi di serikat lainnya,” ujar Ketua Umum SBMI dalam teleconference di Jakarta, Selasa (17/3).
“Jadi, wajar saat ini kita meragukan keseriusan dan kapasitas pemerintah untuk melakukan pengawasan sekaligus evaluasi, dan penertiban terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan eksploitasi terhadap ABK Indonesia,” imbuh dia.
Staf Bantuan Hukum untuk SBMI, Eddy Purwanto mengatakan, seharusnya pemerintah bergerak cepat melakukan penertiban Perusahaan Penempatan Pelaut Perikanan ilegal. Sebagaimana diatur dalam pasal 54 UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengatur besarnya modal dan deposito.
“Sehingga dalam melakukan bisnis penempatan ABK secara berjalan secara serampangan dan eksploitatif,” kata Eddy.
Bahkan diduga kuat perusahaan-perusahaan ini telah melakukan pelanggaran tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pemerintah diminta lebih cepat dan berani melakukan penelusuran serta penindakan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan UU 21/2007. (ASF)