Indonesiainside.id, Jakarta – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengingatkan semua pihak terkait dengan adanya potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Potensinya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu pekerja. “Kami menyebutnya sebagai darurat PHK,” kata Said Iqbal, Rabu (25/3).
Darurat PHK tersebut, bisa dilihat dari empat kondisi berikut. Pertama, ketersediaan bahan baku di industri manufaktur yang mulai menipis.
“Khususnya bahan baku yang berasal dari impor, seperti dari negara China, dan negara-negara lain yang juga terpapar corona,” katanya.
Industri yang akan terpukul adalah labour intensif atau padat karya, seperti tekstil, sepatu, garment, makanan, minuman, komponen elektronik, hingga komponen otomotif. Karena bahan baku berkurang, maka produksi akan menurun. Ketika produksi menurun, maka berpotensi terjadi pengurangan karyawan dengan melakukan PHK.
“Karena itu, sebaiknya perusahaan segera meliburkan para pekerjanya untuk mengurangi biaya produksi, seperti biaya listrik, gas, transportasi, dan maintenance/perawatan,” kata dia.
Situasi yang kedua adalah, melemahnya rupiah terhadap dollar. Jika situasi ini terus berlanjut, perusahaan padat karya maupun padat modal akan terbebani dengan biaya produksi yang tinggi, terutama perusahaan-perusahaan yang harus membeli bahan baku dari impor.
“Perusahaan membeli bahan baku dengan dollar dan menjual dengan rupiah yang terus melemah. Ditambah dengan daya beli masyarakat yang menurun tajam, perusahaan akan kesulitan menaikkan harga jual. Ini akan membuat perusahaan rugi yang mengancam kelangsungan pekerjaan,” jelasnya.
Ketiga, menurunnya kunjungan wisatawan ke Indonesia. Keempat, anjloknya harga minyak dan indeks saham gabungan.
Akibat minyak dunia yang anjlok, pendapatan Indonesia dari ekspor minyak mentah juga akan turun. Sebagai catatan, harga minyak mentah dunia jatuh ke level US$ 30 per barel, jauh dari asumsi harga minyak Indonesia atau ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sebesar US$ 63 per barel.
“Belum lagi indeks saham gabungan juga terus turun. Perusahaan domestik, misalnya industri makanan, terancam rugi karena nilai sahamnya turun,” katanya. (EP)