Indonesiainside.id, Jakarta – Pemerintah mewacanakan konsep new normal atau pola hidup baru di tengah pandemi Covid-19. Saat ini, skenario dan protokol new normal sedang dimatangkan.
Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute, M Rifki Fadhilah, mengatakan new normal belum tentu dapat menggairahkan pasar dan produksi. Semuanya bergantung pada kecepatan penanganan Covid-19.
Rifki menilai, new normal seolah memaksa dunia usaha mulai berjalan. Mengingat, pada kuartal pertama 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia turun menjadi 2,9 persen, lebih rendah dari kuartal yang sama pada 2019, sebesar 5,07 persen.
Kondisi inilah yang membuat pemerintah ingin menggenjot perekonomian lagi. Presiden Joko Widodo meminta jajaran menterinya mempertahankan pertumbuhan ekonomi mendekati 5 persen di akhir tahun ini.
Rifki bilang, aktivitas new normal tak akan bisa berjalan normal dengan berbagai pembatasan dan protokol kesehatan yang masih berjalan. “Pasti akan menganggu sisi produksinya lagi, nah itu kira- kira (pendapatan) dalam kondisi new normal mungkin tidak seperti base line sebelum keadaan Covid-19,” ungkapnya.
Rifki memandang, perekonomian akan benar-benar pulih pada kuartal ketiga atau keempat 2021. Saat ini, pemerintah sedang mendesain program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 (PP 23/2020).
Peraturan ini merupakan turunan peraturan perundang-undangan mengenai penanganan Covid-19, yang secara umum mengatur mengenai mekanisme intervensi pemerintah dalam pelaksanaan Program PEN, yaitu melalui penyertaan modal negara, penempatan dana, investasi pemerintah, dan penjaminan.
Pilihan skema intervensi dimaksud akan disesuaikan dengan kebutuhan yaitu target kelompok pelaku usaha yang akan diberikan stimulus dengan tetap mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. PP 23/2020 juga mengatur bahwa Pemerintah dapat melakukan program pemulihan ekonomi melalui pengalokasian belanja negara, yang salah satunya adalah dengan memberikan subsidi bunga bagi kelompok pelaku usaha.
“Mudah-mudahan kalau semuanya berjalan dengan baik, kuartal kedua atau ketiga 2021 sudah bisa balik normal,” tuturnya.
Selain itu, pemulihan ekonomi di Cina juga menjadi faktor pendorong percepatan ekonomi dalam negeri. “Kalau Cina bangkit lebih cepat, ekspor impor bisa naik cepat duluan. Cuma balik lagi, tergantung pemerintah menangani Covid-19, kalau masih ngulur-ngulur juga bisa beda lagi skenarionya,” imbuh Rifki.