Indonesiainside.id, Jakarta – Pemberian kelonggaran terhadap perusahaan swasta untuk menunda atau menyicil pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) Hari Raya Idul Fitri tahun ini akan menurunkan daya beli masyarakat. Bahkan akan menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, perusahaan tidak diwajibkan membayar THR kepada karyawan bakal menurunkan daya beli masyarakat. “Kondisi ini berisiko menurunkan daya beli bukan hanya pekerja, tapi juga seluruh lapisan masyarakat baik di perkotaan maupun desa,” ujar dia kepada Indonesiainside.id, Jumat (22/5).
Bhima menuturkan, uang THR ini biasanya selain untuk mudik, membeli kebutuhan selama lebaran juga untuk cash transfer kepada keluarga dan kerabat di desa. “Aliran uang ke desa yang berkurang signifikan selama lebaran imbasnya cukup berbahaya, ini bisa membuat tingkat kemiskinan naik cukup tinggi,” tandasnya.
Menurut dia, pada momen Ramadhan dan Lebaran kenaikan retail bisa mencapai 30 persen lebih tinggi dari bulan biasanya. “Gara-gara THR direlaksasi, maka sektor retail secara nasional akan mengalami penurunan omzet. Ini imbasnya bisa sebabkan gelombang PHK besar-besaran,” kata dia.
Untuk itu, dia meminta Kementerian Tenaga Kerja tidak lepas tangan karena dalam Surat Edaran (SE) Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan tidak ada ketentuan terkait dengan audit kondisi keuangan perusahaan. “Maka ada celah moral hazard, dimana perusahaan yang cashflow nya lancar bisa mengaku tidak lancar dan menunda pembayaran THR,” jelas dia.
Apabila perusahaan tidak mampu membayar THR, kata dia, idealnya dilakukan negosiasi penentuan THR secara tripartit. “Artinya melibatkan dinas ketenagakerjaan bukan menyerahkan hanya kepada perundingan buruh dan manajemen,” ujar Bhima.
Apalagi tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh, dan dikhawatirkan bargaining power dari buruh tidak sepadan dengan pengusaha. “Sehingga posisi tawar buruh dalam menagih THR menjadi lebih lemah,” ujar Bhima. (MSH)