Peluang usaha terkadang memang harus dicari. Namun, tak jareang juga peluang itu datang sendiri, lalu ditekuni, dan hasilnya dapat dinikmati.
Sebuah kisah datang dari seorang pengusaha yang awalnya prihatin karena dua kerabatnya “terpaksa” dimakamkan menggunakan peti mati dari kayu biasa. Padahal, dalam keyakinannya, orang yang meninggal seharusnya diberikan yang terbaik, peti mati sekali pun.
Lie A Mien, pengusaha furniture asal Tangerang, Banten, menceritakan dua pengalaman buruk terkait kebutuhan peti mati di tengah pandemi. Maret lalu, adik iparnya meninggal karena Covid-19. Sementara rumah sakit hanya bisa menyediakan peti mati berkualitas rendah.
Dua pekan berselang, besan A Mien juga meninggal dengan alasan yang sama, dan memperoleh peti mati yang buruk pula. Dalam tradisi dan keyakinannya, diajarkan untuk memberikan pelayanan yang layak kepada jenazah, termasuk menyediakan peti mati terbaik.
“Kami sekeluarga sedih. Mereka terkena musibah Covid-19, masak iya peti yang digunakan pun dari pinggir jalan hasil kayu sisa. Itu tidak manusiawi,” ungkap A Mien kepada Anadolu Agency, pada Rabu (28/10).
Sementara bisnis yang A Mien urusi sabah hari adalah furniture dari kayu, bahan yang sama untuk membuat peti mati. Berdasarkan informasi, sepanjang Maret-April itu Tim Tanggap Covid-19 Jakarta memang tengah kesulitan memperoleh peti mati, seiring jumlah korban meninggal terus berjatuhan.
Sesuai standar kesehatan, setiap jenazah yang meninggal di tengah pandemi Covid-19 harus dimakamkan dengan menggunakan peti mati.
Memperluas Produksi
Dengan menggandeng kawannya, Andri Jimmy Ranti yang sudah lama mengurusi jasa layanan kedukaan, A Mien memperluas produksi perusahaannnya. Dari furniture saja, kini merambah ke peti mati berkualitas tinggi.
“Saya tidak ingin pengalaman buruk saya terulang karena peti mati yang bagus sulit didapat,” ujar pemilik perusahaan furniture PT Funisia Perkasa ini.
Jimmy menambahkan bahwa dia sudah lama memproduksi peti mati. Sebelum pandemi, dia bisa memproduksi 3-4 unit per hari.
Di musim pandemi, bersama A Mien, produksi peti mati itu berlipat menjadi 50-80 unit. Bahkan jumlah itu bisa mencapai 100 unit per hari ketika permintaan tinggi.
Target itu bisa terkejar karena mereka memproduksi peti dengan mesin, bukan secara manual, imbuh Jimmy.
Dari pabriknya di Kecamatan Benda, Kota Tangerang, mereka mengirimkan peti-peti itu ke seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.
“Sejauh ini kami sudah memproduksi lebih dari 4.000 unit peti mati, dengan tambahan 20 orang karyawan,” kata Jimmy.
Pekan ini, mereka mengirimkan 10 kontainer berisikan 550 peti mati ke wilayah Indonesia timur.
Banyak pula donatur yang datang memesan peti mati untuk disumbangkan. Sejauh ini tercatat ada 500 unit peti hasil sumbangan.
Peti-peti itu mereka distribusikan ke berbagai rumah sakit di Jakarta dan Tangerang.
Meski bisnis peti mati menggiurkan, A Mien dan Jimmy berharap agar pandemi ini segera berlalu.
“Agar semua orang bisa hidup normal dan kita kembali beraktivitas seperti biasa,” kata Jimmy.