Indonesiainside.id, Jakarta – Sidang Gugatan Warga Negara atas Pencemaran
Udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menghadirkan dua aktivis lingkungan sebagai saksi fakta, Rabu (18/11). Kedua aktivis lingkungan itu aktif melakukan kampanye dan pendampingan advokasi terhadap pencemaran udara di wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, Dwi Sawung, dalam kesaksiannya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Saifuddin Zuhri mengungkap aduan ataupun keluhan masyarakat yang selama ini diterimanya terkait masalah polusi udara.
“Yang paling parah itu sampai sesak napas, pingsan, dan bahkan akibat aktivitas industri ada satu kampung sampai terbangun tengah malam saking kuatnya bahan pencemar udara (di wilayah tersebut),” tutur Sawung.
Dia menyebut wilayah yang paling banyak meminta advokasi untuk masalah
pencemaran udara dihentikan adalah di Jawa Barat. Di sana, kata Sawung,
permintaan advokasi datang dari masyarakat di Indramayu, Bogor, Depok, Bekasi, kemudian ada di Sukabumi, Cekungan Bandung, Cirebon, Karawang juga.
Menurut dia, di Bekasi misalnya sampai hujan abu di permukiman rumahnya karena ada industri yang menggunakan bahan bakar batu bara untuk energinya. Di Cibinong juga ada yang asmanya kambuh sampai batuk-batuk, gara-gara ada industri tekstil di Bogor yang menggunakan batu bara. Kemudian ada juga yang mengeluh karena industri peleburan di sekitar Bogor.
Di wilayah Banten, aktivitas peleburan dan pengolahan bahan daur ulang dan PLTU Suralaya menjadi sumber pencemaran udara yang banyak dikeluhkan warga. Sepanjang pengalamannya bekerja di Walhi, pemerintah tidak pernah mencabut izin usaha suatu perusahaan meski kedapatan melakukan pencemaran udara.
Dia mengatakan, kebanyakan perusahaan tidak diberi sanksi tegas dan hanya diberi peringatan untuk memperbaiki. Akibat tidak adanya ketegasan itu, banyak perusahaan yang kembali melakukan pencemaran.
“Ada satu kasus yang berhenti total tapi itu bukan dari pemerintah, itu antara si korban dan si perusahaan yang menyadari bahwa bahan industrinya mencemari. Tapi kebanyakan yang diperingatkan oleh pemerintah itu hanya berhenti beberapa saat, kemudian dua-tiga bulan ada (pencemaran) lagi.”
Lebih lanjut ketika ditanya mengenai pengawasan pemerintah selama ini, Sawung mengatakan hal itu sangat minim dilakukan. Dia menilai hal tersebut terjadi karena petugas pengawas yang terlalu sedikit dan juga ketidaktahuan petugas dalam membaca laporan.
“Karena (laporan) tidak dibaca oleh si penerima, jadi tidak ada sanksi atau memberikan semacam atensi terhadap peristiwa tersebut. Makanya nggak aneh kalau warga mengeluh,” kata dia.
Dalam persidangan yang sama, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace
Indonesia, Hindun Mulaika, membeberkan sulitnya mendapatkan data untuk
melakukan komparasi metode pengukuran. Menurut dia, pada 2017, memang diberi data ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) oleh DLH.
“Tapi pada 2018 datanya tidak diberikan ke kita dengan alasan masuk dalam kategori data yang terkecualikan. Jadi memang tidak bisa dibuka ke publik. Padahal penting sekali untuk kita mendapatkan data tersebut. Karena sebenarnya ini tentang regulasi, di mana regulasi itu sebenarnya mengatur metode pengukuran pada ISPU itu sendiri,”jelas Hindun.
Data menjadi penting sebagai penentuan kriteria indikator kualitas udara yang sedang, buruk ataupun bagus. Selain itu, masyarakat juga harus tahu standar yang digunakan oleh pemerintah. “Kita sudah kasih tahu bahwa standar yang digunakan oleh pemerintah itu sangat lemah. Seperti untuk PM 2.5 saja, kalau standar WHO itu 25 mikrogram, sedangkan standar Indonesia 60 mikrogram. Karena itulah waktu itu kita minta data konsentrasi. Karena standar baku mutu masing-masing parameter itu yang harusnya diperketat oleh KLHK,” kata Hindun.
Ditanya mengenai keterlibatan dirinya sebagai CSO (Organisasi Masyarakat Sipil) dalam pembuatan regulasi, Hindun menyatakan sempat beberapa kali diundang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pertemuan membahas data ISPU, udara ambien dan data-data apa saja yang digunakan oleh pihak CSO.
Begitupun pada saat KLHK akan melakukan revisi Peraturan Menteri LH 21/2008 terkait dengan baku mutu emisi sumber yang tidak bergerak pada tahun 2017-2018. Hindun dan tim advokasi pencemaran udara, telah beberapa kali menyampaikan pandangannya.
“Nah, masalah masukannya diterima atau tidak itu kan jadi perdebatan. Kita tahu bahwa kemudian ada revisi Permen, dan itu memang sudah sesuatu yang kita analisa dan serahkan data sejak 2015, tapi kemudian kita tidak dilibatkan. Pada saat kita mendapat draftnya, sebenarnya draft itu kita anggap masih sangat lemah. Kita bertanya ini landasan akademiknya apa? Karena penentuan angka pada saat pembuatan regulasi itu kan memang harus ada data akademisnya, harus ada analisanya.”
Lemahnya draft revisi Permen itu pun telah dilayangkan kepada kementerian terkait. Namun surat keberatan yang disampaikan tetap diabaikan. Padahal, kata Hindun, ada kekhawatiran yang ingin disampaikan khususnya pada regulasi yang dibuat karena menyangkut kepentingan publik dan dapat berimplikasi langsung pada kesehatan masyarakat luas.
“Jadi kita ingin menegaskan bahwa dalam revisi regulasi itu bukan hanya kemudian tentang kepentingan siapa. Tetapi harus diketahui juga logika akademiknya di mana, apa yang sebenarnya ingin dicapai dari penurunan angka dalam revisi yang baru,” katanya.
Adapun, sidang Gugatan 32 warga negara terhadap 7 pejabat negara ini dijadwalkan dibuka kembali pada Rabu 25 November 2020 pukul 09.00 WIB. (Aza)