Indonesiainside.id, Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menagih janji Presiden Joko Widodo pada 2017 soal swasembada garam di Tanah Air. Namun, hingga hari ini, pemerintah belum memberikan kabar gembira bagi petani garam dalam setiap kebijakan yang diambil.
“Tahun 2017, yang menjadi catatan kami. Bahwa Pak Jokowi menghendaki swasembada garam. Kemudian menko Luhut mengatakan Indonesia berhenti impor garam, tapi faktanya berbeda.
Di tahun 2018-2019, itu kondisi garam terparah sejak tahun 1986,” kata Ketua Bidang Tani dan Nelayan DPP PKS, Riyono, pada acara webinar nasional bertajuk “Impor Garam, Mau Sampai Kapan?”, Jumat (16/4/2021).
“Ini menjadi catatan kritis di hari nelayan ini bagi Partai Keadilan Sejahtera. Dimana kondisi pergaraman kita hingga saat ini belum memberikan kabar gembira untuk para petani garam kita,” ungkap Riyono, dilansir Pks.id.
Riyono menyampaikan, Bidang Tani dan Nelayan DPP PKS memiliki program pemberdayaan nelayan sebagai bentuk pelayanan kepada nelayan di seluruh Indonesia. Menurut dia, kebijakan impor garam yang sangat merugikan petani garam.
“PKS punya gerakan besar yaitu gerakan 100 titik bersama nelayan yang kita canangkan 6 April lalu. Ini adalah merupakan bentuk komitmen PKS untuk menyelenggarakan, menyapa, melayani, mengadvokasi, dan memberdayakan nelayan, petambak garam, nelayan kecil, dan nelayan tradisional di seluruh Indonesia,” tutur Riyono.
Dia menuturkan, jika pemerintah mau memperbaiki kebijakan dan sdm terkait kondisi garam nasional, bisa mencegah terjadinya impor garam yang berkelanjutan. Problem dasarnya ada di kualitas garam. Jika pemerintah mau memperbaiki SDM dan teknologi pengolahan garam, tidak perlu lagi impor garam.
“Dulu 2017 Pak Luhut janji akan setop impor garam 2020-2021 dengan kebijakan pemerintah yang disiapkan, di antaranya buka lahan garam 4,000 Ha di NTT dan menjaga harga garam rakyat kisaran 1.000 rupiah/kg. Mana janji itu?” tanya Riyono, Senin (15/3/2021).
Dia menyebut, saat ini produksi garam nasional hanya mampu 2 juta ton/tahun. Sedangkan kebutuhan garam konsumsi dan industri 3 juta ton. Ada defisit kebutuhan garam industri 1 juta ton/tahun. Saat ini harga garam hancur, hanya 350 rupiah/kg padahal ongkos produksi 750 rupiah. Petani sudah rugi 400 rupiah dan semakin terpuruk oleh garam impor yang rembes ke pasar atau konsumen.
Dari sisi kemampuan lahan produksi garam juga belum signifikan, ada 49 titik dari 9 provinsi sentra garam mulai dari jawa, sulawesi sampai NTT yang luasan lahan sekitar 21.348 hektar dengan kapasitas produksi garam 60 – 80 ton/ha. Kita membutuhkan lahan minimal 37.000 Ha dengan produksi 80 ton/ha.
“Kalau Pak LBP serius harusnya segara benahi tata niaga garam, cabut PP no 9 tahun 2018 tentang Kebijakan Impor garam yang memberikan jalan gelap impor merajalela,” usul Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah ini.
Ia menekankan, penderitaan petani garam semakin dalam, kita maaih ingat ditahun 2019 kasus di Pati dan Rembang dimana petani penggarap hanya diberi upah 25.000 per hari atau 200.000 per pekan. Petani sudah enggan menjual garamnya, bahkan di Madura garam dibuang ke jalan sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah.
“Rencana impor garam 2021 yang sudah diputuskan sejak Januari 2021 membuktikan bahwa pemerintah tidak konsisten dengan Janji akan stop impor garam 2021. Mana janji pak Luhut soal stop impor garam? Petani garam sudah lelah dengan janji dan janji berulang yang hanya berujung janji,” tambah Riyono. (Aza)