Indonesiainside.id, Jakarta – Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan, cara berpikir Pemerintah terkait pemindahan Ibu Kota Negara dengan menciptakan proyek konstruksi justru menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Cara berpikir tersebut kuno.
Di zaman serba digital sekarang ini, semestinya Pemerintah berpikir ke depan dan lebih mengutamakan digitalisasi yang masif. Menurut dia, dikiranya kalau ada semen sama bata, kemudian disusun, itu yang akan membawa pertumbuhan ekonomi baru. Padahal saat ini zaman digital. Ibu Kota Negara bisa tetap di Jakarta, Kalimantan bisa dikembangkan inisiasi industrinya. Bahkan dengan ekonomi digital, misalnya.
“Kan gak ada di sana, startup-startup adanya dari Jakarta, Bandung dan Jogja, nggak ada startup dari Kalimantan, ibukota pindah di sana nggak juga menjamin adanya digitalisasi yang masif, apalagi cuma bangunan pemerintahan,” kata Bhima saat menjadi pembicara Bincang Oposisi yang digelar oleh DPP PKS, Senin (20/12/2021).
Menurut Bhima, yang menjadi kontradiksi lainnya adalah Pemerintah mengatakan akan mengganti aparatur sipil negara (ASN) dengan robot atau dengan artificial intelligence. Ini merupakan ancaman bagi ASN, akan tetapi di sisi lain berkeyakinan pemindahan ibu kota dengan memindahkan bangunan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baru.
“Mereka sendiri berkeyakinan memindahkan ibu kota baru, komputernya dipindah kemudian kursi dan mejanya dipindah ke Kalimantan itu akan menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi yang baru. Jadi agak saling kontradiksi, mereka juga akhirnya kebingungan dengan teori atau asumsi yang dibuat sendiri,” ujar Bhima.
Seharusnya yang dikembangkan adalah ekosistem digital usaha miktro kecil dan menengah (UMKM). Sehingga, menurut Bgima, anggaran Rp466 triliun yang akan dipakai untuk pemindahan ibu kota baru itu akan lebih efektif.
“Kalau investasi ya investasinya diarahkan ke investasi yang seperti itu, investasi yang memang berkelanjutan serapan tenaga kerja. Kalau konstruksi itu proyeknya selesai ya selesai, paling setiap tahun keluar buat perawatan, tapi tenaga kerjanya tidak berkelanjutan gitu loh, jadi cara berpikirnya ini kok masih berpikir era tahun 70-an, ekonomi klasiknya lebih klasik lagi nih, jadi harus ada bangunannya dulu ada semen ada pasir ada bata disusun jadi gedung pemerintahan itu dianggap akan menciptakan serapan tenaga kerja, jadi cara berpikirnya masih kuno saya bilang,” pungkasnya. (Aza/pks.id)