Indonesiainside.id, Jakarta – Anggota DPR RI yang juga Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid, mendesak agar pemerintah segera mencabut Permenaker 2/2022 tentang pencairan dana jaminan hari tua (JHT) yang mensyaratkan pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun. Menurut dia, JHT adalah uang milik pekerja, bukan uang pemerintah.
“Memang namanya Jaminan Hari Tua (JHT), tetapi faktanya, apalagi di era Covid-19, banyak pekerja yang terkena PHK saat usia mereka masih di bawah 40 tahun. Sehingga tidak manusiawi dan tidak adil, kalau mereka harus menunggu lama sampai usia 56 tahun baru bisa dicairkan. Padahal JHT itu uang mereka sendiri, bukan uangnya pemerintah,” kata Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, dilansir laman resmi Fraksi PKS DPR RI, Sabtu (19/2/2022).
Menurut dia, dengan massifnya penolakan bahkan demonstrasi-demonstrasi para pekerja, sementara Covid-19 dan dampak-dampaknya masih menyebar juga, maka demi kemanusiaan serta keadilan, agar pemerintahan Joko Widodo segera merevisi atau bahkan mencabut Permen 2/2022 tersebut.
“Sikap yang memaksakan tetap berlakunya Permenaker 2/2022 itu bisa mencederai nilai kemanusiaan dan keadilan dalam Pancasila, juga prinsip negara hukum yang menghormati HAM,” katanya.
Dia mengatakan, bila JHT bisa langsung dicairkan seperti Permen sebelumnya (Permen Nomor 19 Tahun 2015), maka bisa langsung dipergunakan untuk usaha atau yang lainnya. Sehingga JHT jadi bermakna; Jaminan agar hidup pekerja hingga saat hari tua nantinya, para pekerja tidak merana.
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa ketentuan yang dihadirkan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 itu bertentangan dengan prinsip perundangan. Peraturan menteri itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 yang membolehkan JHT bisa segera dicairkan, dan tidak perlu menunggu usia 56 tahun, apabila terjadi PHK. Peraturan Pemerintah itu dikuatkan dengan instruksi langsung Presiden Jokowi kepada Menaker saat itu Hanif Dhakiri.
“Hal seperti ini jelas melanggar prinsip negara hukum, di mana peraturan menteri (Permen) yang secara hierarkis berada di bawah Peraturan Pemerintah (PP), tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi seperti PP itu,” katanya.
Apalagi salah satu dasar dari Permenaker tersebut adalah UU Cipta Kerja, di mana saat ini statusnya ‘dimatisurikan’ oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat. Karena itu, HNW mendesak agar Presiden Joko Widodo segera turun tangan untuk berpihak kepada para pekerja dengan mengoreksi Permen no 2/2022 agar dikembalikan kepada instruksi Presiden Jokowi sendiri yang mewujud menjadi PP No 60/2015. Apalagi tidak seperti tahun 2015, pada tahun 2022 ini masa pandemi Covid-19, banyak sekali terjadi PHK oleh industri yang terdampak pandemi. Survei Kemenaker pada November 2021 lalu, menyebutkan setidaknya ada 72.983 pekerja yang terkena PHK di 4.156 perusahaan, serta ada 2,94 juta pekerja yang terdampak Covid-19 yang terancam di-PHK atau dirumahkan.
Dibandingkan dengan data Kemenaker pada 2015 ketika PP No. 60 Tahun 2015 diterbitkan, maka pada 2015, pekerja yang di-PHK berjumlah 26.506. Angka tersebut jauh lebih kecil dari angka PHK saat pandemi yang sampai berjumlah 72.993 pekerja.
“Menaker seharusnya sudah memahami makna angka-angka ter-PHK dengan segala dampaknya. Kalau dulu dengan 26.506 terPHK saja, JHT langsung bisa dicairkan, agar bisa menanggulangi dampak-dampak negatif dari PHK, maka ketika jumlah ter-PHK diera Covid-19 menjadi lebih dari 2 kali lipat dari sebelumnya, manusiawi dan adilnya adalah dana JHT itu segera dibayarkan sebagaimana aturan sebelumnya, dan tidak perlu menunggu sampai usia 56 tahun, sebagaimana aturan yang baru,” ujarnya.
Apalagi JHT berasal dari uang pemotongan dari gaji pekerja bukan APBN, dan kabarnya aman bahkan terakumulasi dalam jumlah yang melebihi Rp550 triliun. Maka merevisi atau mencabut Permen 2/2022 yang meresahkan para Pekerja akan sangat memenuhi rasa kemanusiaan dan keadilan.
Namun, apabila tetap tidak mau merevisi apalagi mencabut Permen 2/2022, HNW yang juga Anggota komisi VIII DPR yang bermitra dengan Kemensos yang mengurusi masalah sosial dan fakir miskin ini mendukung upaya sejumlah Serikat Pekerja yang akan mengajukan gugatan Permenaker Nomer 2/2022 tersebut ke PTUN.
HNW berharap agar para hakim mempergunakan hati nurani dan akal sehat untuk menghadirkan hukum yang berkeadilan bagi para pekerja sesuai dengan prinsip negara hukum yang juga hormati HAM.
Sekalipun demikian, HNW tetap berharap pemerintah dalam rangka melaksanakan konstitusi untuk melindungi seluruh Rakyat Indonesia termasuk kalangan Pekerja, dan menjadi bagian dari bukti keseriusan mengatasi Covid-19 yang bisa menyebar karena imunitas tubuh yang tidak baik karena cemas, atau juga karena kerumunan seperti dalam demonstras-demonstrasi Pekerja tolak Permen 2/2022, serta dengan banyaknya demonstrasi, dan penolakan-penolakan seperti dalam petisi penolakan yang ditandatangani oleh lebih dari 300.000 warga, juga penolakan dari berbagai pihak di DPR dan DPD, maka pemerintah lebih baik mengambil kebijakan kenegarawanan yang lebih manusiawi dan adil, dengan lMenaker segera merevisi atau mencabut Permennya agar tidak menambah tidak kondusifnya suasana berbangsa dan bernegara, akibat keresahan para pekerja yang merasa diberlakukan tidak manusiawi dan tidak adil, dengan kemudian menggugat ke PTUN.
“Dengan kritik meluas dari DPR, DPD dan ratusan ribu petisi yang menolak, serta demonstrasi dimana-mana, mestinya itu cukup untuk membuat pemerintah Jokowi untuk melakukan executive review dengan mengkoreksi Permen No. 2 Tahun 2022 baik dengan merevisinya agar sesuai dengan PP No 60/2015 atau bahkan mencabutnya. Agar para pekerja khususnya dan masyarakat umumnya akan tenteram, dan merasakan hadirnya Negara yg melindungi mereka, dengan kembalinya komitmen menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan, keadilan dan HAM,” katanya. (Aza)