Masjid Al-Anwar, atau yang dikenal sebagai Masjid Jami Angke, adalah salah satu masjid tertua di DKI Jakarta. Didirikan pada tahun 1761 Masehi atau 1174 H, masjid yang terletak di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya pada tahun 1993.
Keaslian elemen bangunan masjid masih terus terjaga meski telah beberapa kali direnovasi. Secara arsitektural, Masjid Jami’ Angke memiliki beberapa sentuhan budaya diantaranya Bali, Jawa, Arab dan Tionghoa.
Muhammad Abyan Abdillah, pengurus Masjid Jami Angke mengatakan, banyak filosofi yang terkandung dalam ornamen-oranamen di masjid ini. Filosofi Islam, ketika memasuki pintu gerbang, terdapat lima anak tangga yang berasal dari lima rukun islam. Kemudian, perpaduan ukiran Bali, Jawa dan dan sentuhan Eropa terlihat di pintu gerbang yang besar. Jendela berjeruji kayu ukiran juga bergaya Eropa. Saat memasuki ruang utama terdapat empat pilar atau penjaga utama yang diambil dari empat sahabat Rasulullah (kholifahurrasyidin) sebagai penyanggah bangunan.
“Bangunan Masjid Jami Angke merupakan bentuk persatuan dan kesatuan bagi kami, itulah yang mesti kita sebarkan, karena Islam adalah agama rahmat bagi seluruh alam, ,” tutur Muhammad Abyan Abdillah, keturunan pangeran Tubagus Angke.
Abyan mengatakan, Pangeran Tubagus Angke adalah tokoh perjuangan pada abad 15 setelah pangeran Fatahilah. Dia salah satu menantu Sultan Banten, Sultan Hasanudin. “Di sinilah (Angke) beliau berjuang dan juga berdakwah bersama para pengikutnya sampai diteruskan oleh keturunan keturunannya, ” kisah Abyan kepada Indonesiainside.id
Meski demikian Abyan mengakui tidak pernah mendapatkan cerita atau dokumen secara jelas siapa pendiri masjid Jami Angke. Dahulu kawasan Angke, termasuk masjid menjadi pusat dari segala jenis pertemuan, tempat ibadah hingga aktifitas perdagangan. “Namun kami berkeyakinan bahwa masjid ini adalah peninggalan dari kesultanan Cirebon dan Banten,” jelas Abyan.
Di komplek Masjid Jami Angke terdapat banyak makam dari keluarga besar Tubagus Angke, keluarga besar kesultanan Banten, Cirebon , Demak hingga salah satu sultan dari Pontianak, yaitu kesultanan Qodariyah (Syarif Hamid Al Qodri).
Masjid Jami Angke yang dibuka selama 24 jam ini dijaga oleh keturuan langsung dari pangeran Tubagus Angke. Untuk memakmurkan masjid berbagai kegiatan telah dilaksanakan di masjid ini. “Kami mengupayakan kegiatan keagamaan jangan sampai kosong dari hari ke hari. Di bulan Ramadhan misalnya, ada kegiatan i’tikaf dan pesantren kilat untuk anak SD dan SMP saat mereka sudah memasuki masa liburan,” jelas Abyan.
Masjid Jami’ Angke yang berada di lingkungan heterogen menjadi salah satu sumber toleransi. “Saat bulan puasa, mereka yang non muslim kerap menyumbang takjil untuk berbuka puasa,” imbuh Abyan menutup pembicaraan. (Mi)

Tampak depan masjid Jami Angke Al-Anwar. Saat ini bagian luar masjid dalam proses renovasi untuk menampung lebih banyak jamaah.

Seorang jama’ah menyeberangi papan kayu masjid Jami Angke Al – Anwar. Tepat di depan pintu terdapat lima anak tangga yang filosofinya adalah lima rukun Islam.

Seorang jamaah melalui pintu samping masjid Jami Angke. Percampuran seni arsitektur dari berbagai macam budaya bisa dilihat mulai dari gerbang luar masjid.

Ruang utama masjid Jami Angke yang dibuka selama 24 jam dan digunakan untuk pendidikan agama mulai dari anak anak hingga dewasa.

Detail ornamen yang menempel di dinding masjid Jami Angke, adalah bagian dari keragaman budaya dalam arsitektur masjid.

Beberapa makam keturuan pangeran Tubagus Angke terdapat di luar masjid. Selain makam keturunan Tubagus Angke, terdapat juga makam sultan lainnya yang berada di seberang masjid Jami Angke.

Seorang jamaah sedang beristirahat di dalam masjid Jami Angke. Abyan, pengurus masjid mengatakan bahwa siapapun diizinkan untuk berkunjung ke masjid ini, termasuk pengunjung non muslim.