Indonesiainside.id, Jakarta – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin melanggar hukum lantaran menganggap Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Majelis hakim juga menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sebesar Rp285 ribu. Gugatan tersebut diajukan oleh keluarga korban pada 12 Mei 2020 ke PTUN. Majelis Hakim yang diketuai oleh Andi Ali Rahman mengabulkan seluruh gugatan keluarga korban pada Rabu (4/11).
“Adalah perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan,” bunyi putusan PTUN yang diterima Anadolu Agency.
Putusan PTUN itu juga mewajibkan Jaksa Agung untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai keadaan sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR sepanjang belum ada putusan yang menyatakan sebaliknya.
Sebelumnya, pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung Burhanuddin menyampaikan bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Pernyataan lengkap Jaksa Agung Burhanudin adalah: “… Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat.”
“Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuk Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.”
Pernyataan ini kemudian digugat ke PTUN dan dimenangkan oleh keluarga korban. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur berharap Jaksa Agung tidak mengajukan banding atas keputusan PTUN ini.
Menurut Isnur, proses persidangan juga telah menunjukkan bahwa pernyataan tersebut bukan sekedar keseleo berbicara. “Kami harap Jaksa Agung bisa segera menyampaikan perkembangan penyidikannya, proses-proses sesuai faktanya di ruang sidang DPR seperti perintah hakim,” kata Isnur.
Dia juga meminta agar pemerintah menunjukkan kemauan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu ini. “Menurut kami ini semacam titik terang dalam upaya korban terus mendorong negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,” kata Isnur.
Sumarsih, salah satu keluarga korban tragedi Semanggi I mengatakan putusan PTUN harus menjadi pembelajaran bagi Kejaksaan Agung agar memahami tugas dan kewajibannya dalam menuntaskan kasus ini.
Tragedi Semanggi I dan II terjadi sepanjang aksi protes mahasiswa di November 1998 dan September 1999 setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Sebanyak 17 warga sipil tewas dan 109 lainnya terluka dalam insiden Semanggi I. Sementara dalam tragedi Semanggi II, sebanyak 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya menjadi korban luka.
Amnesty International Indonesia mengatakan pengadilan terkait peristiwa ini gagal memenuhi keadilan bagi korban dalam mengungkap dalang di balik penembakan, meski sejumlah polisi dan tentara telah diadili akibat insiden itu. (aza/aa)