Oleh : Eko P |
Wacana pemerintah menghidupkan kembali Dwifungsi TNI dinilai mengkhianati perjuangan reformasi.
Indonesiainside.id, Jakarta — Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian (JGD) Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid menilai wacana mengembalikan Dwifungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus ditolak. Pasalnya, dapat menimbulkan dualisme kekuatan bersenjata dan sipil.
“Dampaknya yang akan terjadi adalah tarik menarik kekuasaan,” ujarnya kepada Tempo.
Senada hal itu, Rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Musni Umar, juga menyatakan penolakan dikembalikannya dwifungsi TNI dan Polri oleh rezim Jokowi. Pasalnya, hal itu sama halnya dengan mengkhianati reformasi.
“Saya sangat keberatan dan menolak dikembalikannya dwifungsi TNI dan Polri oleh rezim sekarang ini. Menghapus dwifungsi merupakan amanat reformasi,” ujarnya, Sabtu (23/2).
Senada, Direktur Imparsial Al Araf menilai rencana pemerintah tidak tepat karena penempatan TNI aktif pada jabatan sipil tidak sejalan dengan agenda reformasi. Itu sama saja dengan mengembalikan fungsi TNI yang dulunya berpijak Dwifungsi ABRI.
“Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan doktrin dwifungsi ABRI yang sudah dihapus sejak reformasi,” ujarnya.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo bakal memberikan kesempatan kepada perwira TNI untuk menduduki berbagai jabatan di kementerian dan lembaga yang membutuhkan. Wacana pemberian jabatan di lembaga sipil kepada TNI aktif berangkat dari banyaknya perwira tinggi yang tidak memiliki jabatan di militer.
Pemerintah menilai solusinya dengan memberikan ruang lebih lebar kepada perwira agar bisa menjabat di lembaga sipil. Panglima TNI Hadi Marsekal Tjahjanto sebelumnya menyatakan pihaknya ingin prajurit perwira tinggi aktif bisa mengisi jabatan eselon I dan II di sejumlah kementerian.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menganggap hal itu bukan masalah dan pemerintah tengah menyiapkan revisi UU No 34 tahun 2004 untuk direalisasikan.
Padahal reformasi TNI mensyaratkan militer tidak lagi berpolitik. Artinya, militer aktif tidak dapat lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati atau jabatan di kementerian dan lembaga lainnya. Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI menyebutkan, militer aktif hanya bisa menduduki jabatan-jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan, seperti Kementerian Pertahanan, Kemenkopulhukam, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Dewan Pertahanan Nasional, Narkotika Nasional, Sandi Negara, Lemhanas dan Mahkamah Agung. (EPJ)