Oleh : Zahirudin
Tapi bukan berarti pemerintah tidak bisa mengupayakan jalan tol bagi masyarakat menengah ke bawah. Asalkan ada kemauan politik dan implementasi di tingkat kementerian
IndonesiaInside.id, Jakarta – Pembangunan jalan tol pada kenyataannya memang tidak diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Mahalnya tarif yang harus dibayarkan menjadikan jalan tol sebagai infrastruktur bagi mereka yang berduit, yang mampu membayar harga mahal tanpa harus bermacet-macetan.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan pembangunan jalan tol memang ditujukan bagi mereka yang memiliki mobil baik untuk kepetingan pribadi ataupun urusan bisnis. Menurutnya, semestinya tarif tol tidak menjadi masalah bagi masyarakat selama mereka masih menggunakannya.
Sebab, kata Djoko, keluhan-keluhan mereka yang bermobil tentang tarif jalan tol memang sudah menjadi tabiat asli manusia yang jika diberikan kekayaan sebesar apapun masih tetap akan mengeluh. Namun, yang paling penting adalah bagaimana pemerintah juga mampu menyediakan jalan non-tol sebagai alternatif di jalan raya.
“Sehingga masyarakat jika merasa mahal menggunakan jalan tol (yang lajur pendek) maka dia bisa menggunakan jalan non-tol. Tapi jalan non-tol jangan banyak berlubang,” kata Djoko kepada IndonesiaInside.id dihubungi melalui sambungan telepon, Jakarta, Selasa (26/02).
Pembangunan jalan tol pun, Djoko melanjutkan, secara teori tidak pernah akan menyelesaikan masalah yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta. Sebab satu solusi yang dinilai paling efektif untuk mengatasi masalah transportasi di kota besar adalah dengan memperbanyak angkutan massal.
Besarnya investasi jalan tol yang mayoritas dipegang pihak swasta membuat prasarana beton konkrit itu akan tetap memasang tarif mahal. Namun jika ingin berbicara tentang transportasi yang efektif untuk masyarakat dengan tingkat mobilitas yang tinggi tentu yang paling pas dengan membangun angkutan massal secara besar-besaran.
Namun bukan berarti tidak ada solusi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mewujudkan tarif jalan tol yang terjangkau bagi masyarakat umum yang tidak memiliki mobil pribadi. Asalkan ada kemauan politik dari pemerintah kemudian dilanjutkan dengan implementasi di tingkat kementerian untuk mewujudkannya.
“Bagaimana caranya? Pemerintah membeli satu lajur untuk transportasi umum. Tarifnya bisa untuk satu hari penuh atau hanya pada saat jam-jam sibuk. Tapi jangan sampai membebankan operator jalan tol, karena bisa-bisa mereka tidak mampu mengembalikan modal. Itu malah akan menimbulkan masalah yang baru lagi. Ini bentuk atau cara pemerintah perhatian kepada rakyat,” ujar Djoko.
Dikutip dari Sindonews.com edisi Selasa (19/02/2019), pengamat transportasi Universitas Pakuan Bogor, Budi Arif mengatakan ada dua hal yang akan dilihat pengendara sebelum menggunakan jalan tol yakni keinginan dan kemampuan untuk membayar tarif tol. Namun masyarakat juga akan melihat waktu tempuh tol dan jalur eksisting yang menjadi pertimbangan.
Dia melanjutkan, dalam penetapan tarif tol, konsep yang diusung adalah pembangunan tol masih berkaitan dengan investasi bagi investor. Hal itu sudah barang tentu memiliki analisis finansial yang mengacu kepada benefit pengoperasian dibagi biaya pembangunan. Artinya terdapat ekonomi rekayasa yang masuk ke dalam ranah rencana bisnisnya.
Dia mencontohkan tarif tol Bocimi Seksi I dianggap terlalu mahal, tentu masyarakat harus memaklumi jika melihat penghitungan investasi melihat dari pekerjaan sebelumnya. Yakni pembebasan lahan dan lain sebagainya. Kata dia, nilai tersebut akan masuk ke dalam benefit yang dibagi cost.
“Tarif dimungkinkan bisa turun jika melihat waktu konsesi investor sudah balik modal. Investor itu waktunya 20-30 tahun,” katanya.(EPJ)