Oleh : Eko P |
Sikap NU disebut senafas dan juga dijiwai oleh PDI Perjuangan.
Indonesiainside.id, Jakarta — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengapresiasi keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) tentang penegasan prinsip kesetaraan warga negara Indonesia yang berbangsa satu dan bertanah air satu sejalan dengan prinsip partai.
PDIP menilai, keputusan tersebut merupakan cerminan sila Persatuan Indonesia yang berdiri kokoh di atas prinsip kebangsaan.
“Sikap NU senafas dan juga dijiwai oleh PDI Perjuangan. Prinsip kesetaraan warga negara adalah pengejawantahan dari Sila Persatuan Indonesia yang berdiri kokoh di atas prinsip kebangsaan. Atas prinsip kebangsaan ini maka segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” ungkap Hasto Kristiyanto Sekjen PDI Perjuangan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/3).
Penegasan Musyawarah Alim Ulama NU tersebut merupakan keputusan yang mengakar pada Pancasila, visoner dan memerkokoh kebangsaan Indonesia.
“NU selalu memahami suasana kebatinan bangsa, dan karenanya keputusan Munas Alim Ulama NU tersebut menjadi nur-ilahi yang menerangi kehidupan berbangsa dan bernegara,” sebutnya.
Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf itu melanjutkan, keputusan para Musyawirin (peserta Munas) yang mengacu dari apa yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan membuat Piagam Madinah tersebut adalah bentuk nyata pembumian Pancasila.
“Pada saat krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, NU selalu kokoh memberikan arah dan pedoman bagi keutuhan dan kemaslahatan bangsa. Demikian halnya tidak digunakannya kata kafir yang mengandung diskriminasi secara teologis tersebut, disertai penghormatan terhadap prinsip kesetaraan warga negara bagi Indonesia sebagai satu bangsa, merupakan buah kontemplasi teologis yang menempatkan manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa,” terangnya.
Keputusan Munas Alim Ulama NU semakin memerkuat upaya Presiden Jokowi untuk menggelorakan daya unggul Indonesia yang maju dan berbangsa satu.
Dalam pidato penutupan Munas dan Konbes NU, Ketua PBNU Kiai Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama warga Nahdliyin. Pertama, perihal istilah kafir.
Kiai Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Masail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan suatu negara bangsa.
Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.
“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim. Ada tiga suku non-Muslim di sana, tapi tak disebut kafir,” kata Said Aqil, Jumat (1/3). (EPJ)