Oleh: Harits Abu Ulya |
ISIS di Suriah sudah “down”, namun di Indonesia bakal menyisakan “drama” lanjutan dari para simpatisannya. Bagaimana konfigurasinya?
Indonesiainside.id, Jakarta — Dua hari ini kita dikejutkan dengan kasus peledakan bom rakitan saat penangkapan Husein alias Abu Hamzah di Sibolga, Sumut. Apalagi kasus ini dikaitkan dengan ad-Dawlah al-Islāmiyah fī ‘l-ʿIrāq wa-sy-Syām (ISIS).
Jika berbicarara simpatisan ISIS yang di Indonesia, sesungguhnya mereka ada yang hijrah pindah ke wilayah kekuasaan ISIS-Suriah dan ada yang masih bertahan di Indonesia untuk mengembang biakkan paham mereka, sembari ada yang terlibat penguatan kelompok seperti kepada kelompok Santoso di Poso yang berlanjut ke Ali Kalora, atau beberapa person gabung dengan kelompok Abu Sayaf di Filipina.
Terkait ini, ada beberapa catatan. Pertama, soal hijrahnya ke Suriah. Mereka ada yang berangkat rombongan sekeluarga suami istri dan anak. Ada juga yang berangkat sendiri meninggalkan keluarga mereka di Indonesia. Tapi ada juga yang berangkat rombongan sesama simpatisan ISIS.
Kedua soal dana. Mereka hijrah dengan biaya swamandiri, atau di bantu dari sesama simpatisan. Atau ada dugaan dana dari hasil aktifitas ilegal.
Akhirnya mereka ada yang berhasil masuk Suriah wilayah ISIS dan paling banyak adalah tertahan di Turki gagal masuk ke Suriah. Turki menjadi pintu masuk favorit bagi simpatisan ISIS dari Indonesia untuk bisa gabung ke pusat ISIS di Suriah.
Biasanya, mereka berangkat dari Indonesia dengan memanfaatkan berbagai jenis Visa; umroh, wisata, kerja dll.
Ini yang dikemudian hari, terbukti, ketika sebagian besar mereka tertangkap kemudian dideportasi balik ke Indonesia. Juga ada beberapa orang sengaja pulang balik dari Suriah ke Indonesia dan akhirnya di tangkap pihak Kepolisian RI.
Ketiga, kelompok yang tidak hijrah. Bagi kelompok ini, beberapa person ada yang melakukan aksi teror baik dengan pola “lone wolfe” atau sel-sel kecil gabungan beberapa orang seperti kasus tragedi serangan di Tamrin Jakarta. Akhirnya mereka tertangkap dan menjadi napiter (Narapidana Terorisme) dan juga ada yang terbunuh saat penindakan.
Keempat, kelompok di luar itu. Mereka adalah simpatisan yang aktif di dunia maya dan dunia nyata untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran ekstrimnya melalui beragam modus.
Mereka, para simpatisan ISIS memiliki komposisi dari latar belakang kelompok yang beragam. Misalnya, ada dari Jamaah Tauhid wal Jihad, Sebagian kecil dari JAT (Jamaah Anshorut Tauhid yang akhirnya dibubarkan), dari DI ring Banten, Kelompok Abu Hamzah, beberapa orang dari JI (Jamaah Islamiyah), Kelompok Hisbah, Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), dan kelompok kecil lainnya plus rekrutan baru dari beragam kalangan.
Yang di kemudian hari ada yang mengidentifikasi sekumpulan simpatisan dari beragam latar belakang kelompok diatas dengan label JAD (Jamaah Anshorud Daulah) atau JAK (Jamaah Anshorul Khilafah). Padahal sejatinya mereka adalah “Jama’ah bila tandzim” (sekelompok orang tanpa organisasi yang baik), dan doktrin yang berlaku; “tidak boleh dan tidak perlu lagi adanya sebuah jamaah atau kelompok/organisasi paska berdirinya institusi negara/Daulah”.
Bagaimana pasca kejatuhan ISIS?
Rezim Jokowi akan di hadapkan tantangan bagaimana mereduksi potensi ancaman dari semua para simpatisan ISIS yang tersisa di Indonesia.
Yang menurut saya, komposisi mereka terdiri dari lima kelompok.
Pertama, Napiter yang terkait kasus ISIS. Kedua, mantan Napiter yang terkait kasus ISIS. Ketiga, para deportan dari wilayah Turki yang gagal bergabung dengan ISIS di Suriah. Keempat, para simpatisan diluar point 1, 2 & 3 yang terdiaspora di beragam tempat dan saat ini posisi “tidur”. Lima, para deportan dari Suriah yaitu WNI yang tertangkap pasca jatuhnya ISIS di Suriah dan yang akan dipulangkan balik ke Indonesia.
Paling tidak dari semua komposisi di atas populasinya bisa menyentuh kisaran 1500 atau 2000 orang.
Dan catatan pentingnya adalah; jika proses deradikalisasi pada person-person yang masuk dalam komposisi di atas gagal maka akan membuka potensi munculnya ancaman terhadap keamanan dengan berbagai level ancamannya.
Fenomena terkini
Kasus ledakan bom rakitan saat penangkapan Husein alias Abu Hamzah di Sibolga Sumut itu hanya satu sequel dari proses preventif seperti halnya usaha preventif yang dilakukan ditempat lain seperti di Lampung, Jogyakarta, Kalbar dan tempat lainnya. Mereka adalah sisa-sisa simpatisan yang terdeteksi dianggap punya potensi melakukan aksi teror (jika melihat indikasi ketersediaan material bom rakitan yang ada di mereka).
Selama ini bom rakitan adalah material favorit untuk dijadikan alat teror. Dunia maya (internet) menyediakan informasi melimpah terkait guiden pembuatan bom dan ini memudahkan bagi peminat aksi teror belajar dan meracik secara efesien.
Dan perlu di catat, baik sebelum dan sesudah ISIS jatuh, sebenarnya banyak juga simpatisan ISIS yang ada di Indonesia kemudian sadar (taubat) dan meninggalkan ISIS karena beragam faktor & sebab. Mereka bukan lagi ISISER (sebutan abnggota/simpatisan ISIS di Ind).
Andaikan masih ada aksi-aksi teror di Indonesia paska runtuhnya ISIS maka pemicunya kemungkinan;
Pertama adalah dendam kepada aparat kepolisian, Kedua, pemikiran ekstrem yang masih terinternalisasi seperti halnya sebelum lahirnya ISIS. Ketiga, rasa “Keputus asaan” yang dilabeli sebagai bentuk loyalitas kepada ISIS. Keempat, bergabung dengan kelompok kecil seperti Ali Kalora, kelompok Abu Sayaf atau membuat embrio baru di tempat yang memungkinan bagi mereka. Kelima, by design artinya produk permainan “intelijen gelap” karena sebuah order kepentingan tertentu.
Di luar isu ISIS, teror dan aksi terorisme bisa datang dari kelompok separatis OPM, atau aksi-aksi teror terkait dengan konstestasi Politik 2019, dan tidak kalah pentingnya untuk mendapat perhatian adalah teror dalam wujud serbuan budaya asing, narkoba, eksploitasi SDA oleh kapitalisme dll yang bisa menghancurkan kehidupan berbangsa bernegara Indonesia dengan segenap warga dan tumpah darahnya.* (cak)
Penulis adalah pengamat terorisme dan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA)