Indonesiainside.id–Ibnu Qudamah Al Maqdisi pernah mengatakan, “Ikhtilafuhum rahmah” (perbedaan ulama dalam masalah fiqih adalah rahmat). Termasuk ikhtilaf dalam menutup aurat. Selain untuk keindahan, salah satu tujuan berpakaian di dalam agama Islam adalah untuk menutup aurat. Karena itu pakaian yang menyimpang dari dua tujuan itu berarti telah menyimpang ajaran Islam itu sendiri.
Sementara para ulama berbeda pendapat tentang batasan aurat perempuan. Secara umum, perbedaannya ada dua;
Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat, kecuali kedua matanya.
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa semua tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan saja.
Di bawah ini ada beberapa pendapat dari Imam Madzhab empat yang masyhur mengenai hukum cadar.
Pendapat Mazhab Hanafi
Pendapat Mazhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan akan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Dalam Matan Nuurul Iidhah, Asy Syaranbalali berkata:
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami.“
Imam Muhammad ‘Alaa-uddin dalam Ad Durr Al Muntaqa, berkata: “Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika di hadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki.”.
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan”. (Kitab Ad Durr Al Mukhtar, 2/189).
Pendapat Mazhab Maliki
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
Dalam Syarkh Mukhtashar Khalil, Az Zarqaani berkata: “Aurat wanita di depan lelaki Muslim ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani.”
Al Qurthubi dalam tafsirnya berkata: “Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya”. (Tafsir Al Qurthubi).
Pendapat Mazhab Hambali
Imam Ahmad bin Hambal dalam Zaadul Masiir berkata: “Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya.”
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam Kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha.” (dalam Raudhul Murbi’).
Ibnu Muflih dalam Al Furu’, berkata: “Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’”. (dalam Al Furu’, 601-602).
Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi”
Pendapat Mazhab Syafi’i
Di kalangan Mazhab Syafi’i sendiri terjadi perbedaan pendapat. Pendapat pertama menyatakan memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Sedang pendapat kedua adalah sunnah, pendapat ketiga adalah khilaful awla, dianggap menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.
Asy Syarwani dalam Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj; “Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha.”
Taqiyuddin Al Hushni dalam Kitab Kifaayatul Akhyaar, berkata: “Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar).”
Sementara itu Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, menafsirkan ayat: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. an-Nur [24] : 31), beliau mengutip penjelasan dari Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan para ulama salaf berikutnya bahwa yang dimaksud adalah “dikecualikan wajah dan telapak tangan.”
Syeikh Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu membahas haddul-‘aurah (batasan aurat) (1 : 633-647) dijelaskan bahwa para ulama keempat madzhab; Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali dan Imam Syafi’I –keempat-empatnya membenarkan bahwa wajah dan telapak tangan dikecualikan sebagai aurat dari seorang perempuan merdeka- tetapi itu disepakati di dalam shalat.
Adapun di luar shalat, terdapat perbedaan pendapat. Ulama Madzhab Syafi’i dan ulama Madzab Hanbali menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangannya.
Dalilnya hadits-hadits yang menyatakan bahwa “perempuan adalah aurat” dan hadits yang melarang seorang lelaki melihat/menatap perempuan tanpa ada keperluan syar’i. Sementara ulama Mazhab Hanafi dan Maliki sebatas menganjurkan wajah ditutup cadar karena takut fitnah.
Begitulah umumnya pendapat ulama terkait cadar. Sejak dulu sampai sekarang, para ulama menghukumi pemakaian cadar bagi perempuan terkait dua pendapat itu. Sebagian mewajibkan, sebagian lainnya berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada di antara mereka yang mengatakan –apalagi melecehkan—bahwa cadar berlaku bagi wanita orang Arab atau Timur-Tengah saja, apalagi sampai mengidentikkan dengan gerakan radikal, ekstrem dan sebagainya. (CK)