Indonesiainside.id, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Willy Aditya, tak mempermasalahkan jika ada kelompok masyarakat yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, ia meminta tak hanya menyampaikan penolakan terhadap RUU tersebut, tapi harus ada ide alternatif yang ditawarkan.
“Terkait pernyataan para akademisi (menolak Omnibus Law), itu sah-sah saja. Kalau mereka menolak, apa tawaran mereka dalam upaya melakukan penyederhanaan perizinan dan iklim investasi yang sehat,” kata Willy di Jakarta, Jumat (24/4).
Politikus Partai NasDem itu meminta tak hanya mendesak, tapi seharusnya memberikan kontribusi nyata berupa tawaran gagasan untuk masalah dan tantangan-tantangan terkait tumpah tindih regulasi.
“Apa jawaban terhadap krisis ekonomi global yang sudah di depan mata? Apa yang bisa ditawarkan untuk menghadapi bonus demografi yang sudab mulai kita rasakan mulai 2020 ini?” tutur Willy.
Para akademisi itu bisa menyampaikan tawaran gagasan kepada pemerintah maupun partai politik agar bisa diakselerasi lebih jauh menjadi usulan, bahkan langkah politik. Mereka juga bisa membangun opini mengenai Omnibus Law yang mencerdaskan di media dan saluran komunikasi lainnya.
Sebelumnya, sebanyak 92 akademisi Tanah Air menandatangani petisi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Beberapa di antaranya guru besar ekonomi pertanian Universitas Andalan Yonariza, peneliti hukum Devi Rahayu, peneliti hukum Harus Retno Susmiyati, hingga ahli hukum lingkungan Andri Wibisana.
Guru Besar Hukum dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, mengatakan, petisi itu merupakan seruan kepada DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law. Selain subtansi draf RUU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, pembahasan RUU Ciptaker di tengah pandemi Covid-19 juga tidak etis.
Dia juga mengingatkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk didengar dalam penyelenggaraan negara. Pelibatan publik dalam pembahasan RUU buman sekedar syarat pemenuhan prosedur, tetapi mesti dipahami sebagai bagian dari hak asasi masyarakat.
“Dalam ajaran HAM, rakyat punya hak untuk didengar. The right to be heard, the right to complain, dan sebagainya. Prosedur ini adalah HAM, bukan sekedar prosedur,” kata Susi.(EP)