Indonesiainside.id, Jakarta – Peneliti Kebijakan Publik sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), Roy Valiant Salomo, menilai pelatihan daring dalam program Kartu Prakerja tak diperlukan. Dari Rp20 triliun anggaran Kartu Prakerja, pemerintah menganggarkan Rp5,6 triliun untuk platform digital yang melatih secara daring dalam program tersebut.
“Pada prinsipnya apa yang dianggarkan haruslah sesuai kebutuhan dan besaran anggarannya harus sesuai dengan aturan main dan harus dapat dibandingkan dengan kegiatan sejenis. Berapa besaran anggaran untuk kegiatan sejenis. Ini harus dipenuhi, tidak boleh mengada-ada,” kata Roy kepada Indonesiainside.id, Senin (4/5).
Dia menyoroti beberapa materi video yang disediakan para platform digital penyedia jasa. Mayoritas konten di 8 platform itu bisa diakses secara gratis melalui media sosial. Misalnya pelatihan menjadi YouTuber pemula gagasan Ruangguru, cara menulis CV yang dilirik HRD, hingga belajar Microsoft Excel.
“Jika memang seperti itu ya melanggar azas kepatutan. Ya jika di pasar tersedia secara gratis, misalnya ada YouTube tentang pelatihan, ya tidak patut untuk menerapkan pembayaran,” kata Roy.
Menurut Roy, hal itu juga dapat disebut sebagai market test. Harga yang ditawarkan atau ditetapkan pemerintah tidak boleh lebih mahal dari yang ada di pasar bebas.
“Apalagi di pasar bebas ada yg gratis. Ya tdk perlu dianggarkan oleh pemerintah,” ucap dia. Maka itu, dia menilai program sebenarnya tidak perlu.
“Bukan tidak efektif tapi tidak perlu. Anggarannya ya bisa dialihkan untuk hal lain yg lebih urgen,” ucap Roy.
Delapan platform digital mitra Kartu Prakerja antara lain Tokopedia, Ruangguru, Mau Belajar Ala, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Kemnaker.go.id.(EP)