Indonesiainside.id, Jakarta – Pengamat Sosial Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menilai tidak bisa menjadi solusi bagi masyarakat di tengah pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19). Ia menyebut program senilai Rp20 triliun itu hanya janji politik Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 lalu.
“Saya kira mmg program kartu prakerja ini adalah sekedar janji politik yang diterapkan pada saat yang salah dan cara yang salah. Saat yang salah karena dipaksakan pada saat orang lebih butuh bansos atau JPS daripada peningkatan kapasitas melalui pelatihan. Toh juga dunia industri sedang melambat dan malah banyak PHK,” ucap Rissalwan kepada Indonesiainside.id, Jumat (29/5).
Rissalwan menjelaskan, penerapan dengan cara yang salah itu terkait pemaksaan program tanpa mempersiapkan ekosistem dari program tersebut. Seharusnya, organisasi pengusaha seperti Apindo merupakan salah satu unsur penting dari ekosistem ketenagakerjaan yang sejak awal dilibatkan.
“Untuk program dengan anggaran Rp20 triliun ini, kompetensi yang dilatihkan seharusnya sesuai dengan kebutuhan industri, bukan sekedar latihan memancing misalnya,” ucap dia.
Kemudian, sertifikasi Kartu Prakerja itu pun seharusnya memiliki standar SKKNI atau minimal SKK profesi tertentu yg distandarisasi oleh BNSP melalui berbagai LSP. Tapi faktanya, desain sertifikat pun hanya mencomot gratisan dari google.
“Yang menandatangani adalah pimpinan perusahaan (sang stafsus milenial yang sudah resign itu), yang jelas-jelas tidak memiliki kualifikasi atau kompetensi untuk memberi verifikasi dan validasi keahliaan tertentu,” ucap dia.
Rissalwan menilai sebaiknya program Kartu Prakerja dihentikan saja karena tidak bermanfaat sama sekali.
“Pemerintah harusnya bisa mengalokasikan dana Rp5,6 triliun yang dibayarkan untuk 8 provider yang tidak melalui tender itu, untuk dialihkan sepenuhnya untuk bansos atau jaring pengaman sosial,” ujar Rissalwan.(EP)