Indonesiainside.id, Tokyo— Jepang hari ini, Kamis (6/8), memperingati 75 tahun peristiwa bom atom Hiroshima. Bom Hiroshima adalah serangan nuklir pertama di dunia oleh Amerika Serikat bulan Agustus 1945, yang menewaskan ratusan ribu jiwa.
Dalam upacara peringatan tahunan yang digelar di Taman Monumen Perdamaian, Wali Kota Hiroshima Kazumi Matsui mendesak dunia untuk bersatu melawan ancaman terhadap kemanusiaan, termasuk ancaman senjata nuklir. Dia mengatakan bahwa negara-negara harus “mengesampingkan perbedaan mereka dan bersatu mengatasi tantangan buatan manusia maupun alam.”
“Masyarakat sipil harus menolak nasionalisme yang berpusat pada diri sendiri dan bersatu melawan semua ancaman,” ujarnya.
Upacara peringatan itu diselenggarakan dalam skala yang lebih kecil karena angka infeksi Covid-19 di Jepang kembali meningkat dan jaga jarak sosial perlu diterapkan. Para hadirin yang mengikuti upacara tersebut, termasuk Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, mengheningkan cipta pada pukul 08.15 waktu setempat, waktu yang sama saat bom atom inti uranium “Little Boy” dijatuhkan pesawat pengebom milik Amerika Serikat (AS) ke Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945.
Hingga akhir 1945, bom tersebut tercatat menewaskan sekitar 140.000 orang. Walaupun Jepang tidak ikut menandatangani Traktat Larangan Senjata Nuklir, Abe dalam pidatonya mengatakan negara-negara tidak seharusnya membiarkan perbedaan sikap soal senjata nuklir kian melebar.
“Setiap negara harus meningkatkan upaya mereka untuk menyingkirkan ketidakpercayaan melalui dialog dan keterlibatan bersama di tengah memburuknya lingkungan keamanan dan perbedaan posisi berbagai negara yang kian melebar terkait pelucutan senjata nuklir,” jelas Abe.
Hingga Maret lalu, jumlah penyintas dari peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki, yang dikenal sebagai hibakusha dengan usia rata-rata 83,31 tahun, berkurang 9.200 orang dari tahun sebelumnya menjadi 136.682 orang, ungkap Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Jepang.
Saat Jepang memperingati kedua tragedi yang mereka alami di akhir Perang Dunia II tersebut, para sejarawan dan tokoh politik dunia internasional mendorong Jepang untuk tidak melihat diri sendiri semata-mata sebagai korban serangan bom atom, tetapi juga sebagai pelaku kejahatan yang menyebabkan insiden tragis itu terjadi. Jepang secara brutal menjajah banyak wilayah di Asia sebelum dan selama Perang Dunia II, yang menyebabkan penderitaan tak terkirakan dan kematian ratusan ribu korban tak bersalah. (Ant/xh/NE)