Indonesiainside.id, Gaza – Rabu kemarin, 30 September 2020, menandai peringatan 20 tahun penembakan brutal yang menyebabkan kematian seorang bocah lelaki Palestina berusia 11 tahun Muhammad al-Durrah oleh tentara rezim zionis Israel di Jalur Gaza, meskipun dengan putus asa ada upaya ayahnya – Jamal, yang mengorbankan dirinya – untuk melindungi bocah itu dari hujan peluru.
Muhammad al-Durrah terbunuh pada tanggal 30 September 2000 menyusul aksi unjuk rasa protes oleh warga Palestina setempat sebagai reaksi atas kunjungan provokatif ke Tempat Suci Masjid Al-Aqsa oleh jenderal dan politikus hawkish Israel, Ariel Sharon (1928-2014).
Sang prajurit pembunuh anak dan ayahnya itu hingga kini tidak pernah diadili oleh rezim Israel atau otoritas internasional mana pun.
Gambar-gambar yang diambil oleh kamerawan France 2 News Channel atas tindakan brutal dan di luar batas kemanusiaan terhadap anak dan ayah tersebut kemudian menyebabkan gelombang kemarahan yang meluas di antara orang-orang Palestina atau Intifada. Kejadian itu berlangsung hingga Februari 2005 dan menyebabkan hampir 5.000 warga Palestina tewas, termasuk di antaranya 1.000 anak-anak jadi korban.
Kekejaman oleh pasukan rezim Israel terjadi setelah Ariel Sharon – yang juga memimpin pembantaian ribuan warga Palestina beberapa tahun sebelumnya di kamp pengungsi Sabra dan Shatila di Lebanon. Peristiwa pemerkosaan, mutilasi dan pembunuhan atas 3.500 warga sipil Palestina dan Lebanon, termasuk warga Iran, Suriah, Pakistan, dan Aljazair. Kebanyakan dari mereka adalah para wanita, anak-anak, dan orang tua. Pembantaian itu memicu protes oleh Muslim Palestina yang beribadah di dalam Masjid Al-Aqsa pada saat itu.
Sedangkan saat Muhammad al-Durrah terbunuh, terjadi saat sekelompok orang Palestina yang memprotes Ariel Sharon, mendekati pemukiman ilegal Israel di Netzarim di tengah Jalur Gaza – yang diduduki oleh pasukan rezim saat itu – dan mulai melempar batu ke arah pasukan pendudukan Israel yang telah mendirikan pos pemeriksaan militer di gerbang timurnya.
Pasukan zionis membalasnya dengan tembakan peluru tajam membabi buta.
Saat anak dan ayahnya mencari perlindungan di balik dinding beton kecil, Jamal al-Durrah sempat meneriaki tentara Israel agar berhenti menembak, khawatir mengenai anaknya tersebut. Namun, teriakan dan tangisannya diabaikan sama sekali dan akhirnya Muhammad al-Durrah terkena peluru hingga beberapa kali dan meninggal di pangkuan ayahnya.

Gambar-gambar penembakan brutal tentara zionis itu kemudian viral di seluruh dunia. Namun, sayangnya tidak ada satu lembaga internasional pun yang pernah menuntut persidangan atas para pembunuh.
Sementara kekejaman rezim Israel terhadap penduduk Palestina dan pembunuhan warga sipil, termasuk anak-anak, terus berlanjut dan tanpa hukuman.
Kamerawan Palestina dari Gaza, Talal Abu Rahma, yang saat itu bekerja untuk France 2 News Channel, merekam video dari seluruh kejadian yang kemudian disiarkan oleh berbagai media. Peristiwa itu menjadi salah satu gambaran peristiwa yang paling kuat di dunia, yang kemudian memantik munculnya gerakan Intifadah Kedua di Palestina yang tengah dijajah zionis Israel.
Menurut Al-Jazeera, rezim Israel mencoba untuk menutupi kebenaran dari rekaman peristiwa yang diambil oleh Abu Rahma. Militer Israel menyangkal bahwa tentaranya telah bertanggung jawab.
Abu Rahma, yang telah memenangkan banyak penghargaan atas karyanya, sekarang tinggal di Yunani, di mana dia, istri dan putranya tinggal. Dia dilarang zionis kembali ke Gaza sejak 2017.
Berikut ini penuturannya seputar peristiwa pembunuhan brutal Muhammad al-Durrah, 20 tahun lalu dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Al-Jazeera:
“Saya tidak bisa mendengar siapa pun karena bunyi tembakan-tembakan itu. Dan itu semakin memburuk. Ada banyak tembakan, banyak yang terluka. Saya sangat takut. Darah berceceran di tanah. Orang-orang berlarian, jatuh; mereka tidak tahu dari mana peluru itu berasal, mereka hanya mencoba bersembunyi. Saya bingung tentang apa yang harus saya lakukan juga – apakah melanjutkan syuting atau melarikan diri. Tapi saya seorang jurnalis yang keras kepala,” katanya.
Kemudian salah satu anak yang bersembunyi di sampingku berkata: Tentara Israel menembaki mereka. Saya bertanya: Menembak siapa?
“Saat itulah saya melihat pria dan anak laki-laki itu ketakutan menyandar di dinding. Mereka mencoba bersembunyi dari desingan peluru dan pria itu menggerakkan tangannya dan mengatakan sesuatu. Namun peluru datang tepat ke arah mereka. Tapi saya tidak tahu dari mana asalnya.”
“Ketika penembakan berhenti, anak laki-laki di dekat saya mulai berlari, ke kiri dan ke kanan. Saya tinggal sendiri dan kemudian memutuskan untuk pergi. Saya berjalan sekitar lima sampai tujuh menit menuju mobil saya. Saya mencoba menelepon kantor di Yerusalem – butuh beberapa saat untuk mendapatkan sinyal. Saat saya berjalan, saya melihat seorang rekan dari kantor berita lain.”
“Saya bertanya padanya, berapa banyak yang terluka, berapa banyak yang tewas? Dia memberi tahu saya tentang tiga. Saya kemudian berkata, Lihat, jika kalian berbicara tentang tiga orang mati, tambahkan dua lagi. Saya pikir ada dua lagi, mereka terbunuh di dinding itu. Saya menunjukkan kepadanya apa yang telah saya rekam dan dia mulai berteriak, Oh tidak! Oh tidak! Ini Jamal, ini putranya, Muhammad, mereka biasa ada di pasar. Ya Tuhan, ya Tuhan!”
“Saya bertanya kepadanya, Apakah Anda mengenal mereka? Dia menjawab, Ya, saya menikah dengan saudara perempuannya,”. (EP)