Indonesiainside.id, Rangoon – Tenaga kerja wanita di pabrik garmen Myanmar terpaksa harus menjadi pelacur untuk bertahan hidup. Hal ini karena, pabrik garmen di sana tutup akibat Covid-19.
Dikisahkan tenaga kerja wanita bernama Hla(19) ketika hendak kembali ke pabrik garmen tempatnya bekerja setelah cuti untuk melahirkan bayinya. Ratusan pabrik garmen di Myanmar ditutup akibat pandemi, setelah brand ternama dari barat menghentikan pesanannya sehingga membuat ribuan wanita menganggur.
Kondisi ini ditambah dengan kebijakan lockdown yang mencengkeram Yangon, pernikahannya berantakan, suaminya minggat, dan ayahnya harus menjual becaknya – tidak lagi mampu membawa penumpang ke kota. Membuat kedua orang tua dan bayinya terancam kelaparan.
Ketiadaan pekerjaan dan kebutuhan harian yang mendesak membuat ibu muda itu memutuskan jadi pekerja seks komersial (PSK). Hla menjadi PSK lima bulan lalu.
“Saya merasa sangat takut, karena harus selalu bekerja dalam kegelapan, saya mencoba untuk berhati-hati. Saya melakukan ini dengan memikirkan keluarga, memikirkan tentang bagaimana memberi mereka makan.”katanya dilansir The Guardian, Kamis(22/10).
Situasi yang menimpa Hla menggambarkan bagaimana buruknya situasi di Myanmar dan mungkin juga di negara lainnya akibat Covid-19, hingga memaksa banyak wanita terjerumus dalam perdagangan seks untuk menghindari kemiskinan, kata lembaga perlindungan wanita setempat.
Covid-19 telah membuat industri garmen Myanmar mengalami beberapa pukulan, dimulai dengan kekurangan bahan mentah dari China pada bulan Februari yang membuat pabrik tutup dan membuat sekitar 10.000 – 15.000 wanita kehilangan pekerjaan.
Pabrik-pabrik juga diperintahkan untuk menghentikan sementara operasinya selama lockdown yang pertama di Yangon pada bulan April dan kemudian dari 24 September hingga 21 Oktober, karena pihak berwenang berjuang untuk melindungi sistem perawatan kesehatan negara yang lemah.
Menteri dalam negeri Myanmar mengatakan kepada media lokal pada bulan September bahwa 223 pabrik telah mengajukan penutupan, penutupan sementara atau pemutusan hubungan kerja. Diperkirakan mereka yang kehilangan pekerjaan bisa lebih banyak dibandingkan periode Januari hingga Juli, ketika 60 pabrik memberhentikan lebih dari 40.000 pekerja.
Sementara itu, sebagai pekerja seks komersial Hla kini mendapatkan sekitar 5.000 kyat (1 kyat = Rp11,41) sehari selama melayani hidung belang di rumahnya.
“Kami hanya berdiri dan menunggu pria mendekati kami,” katanya. Kami tidak lagi punya waktu untuk dihabiskan dengan bayi. “Saya harus berhenti menyusui anak saya sama sekali agar saya bisa melakukan pekerjaan ini. Sekarang kami memberinya nasi dan susu bubuk murah. “ujarnya.
Wanita lain, Khine (30) kehilangan pekerjaannya dengan penutupan pabrik di Yangon enam bulan lalu. Suaminya tidak mampu lagi membayar sewa becaknya. Sekarang anak laki-lakinya, yang berusia 16 dan tujuh tahun, memohon padanya untuk tidak meninggalkan rumah.
“Mereka mencoba menghentikan saya dan saya memberi tahu mereka untuk tidak menangis, bahwa saya harus melakukan ini untuk kelangsungan hidup,” katanya.
Beberapa pria kasar menuntut pelayanan seksual mereka, yang lain melakukan kekerasan, “memukul telinga dan wajah saya”, katanya. “Aku sangat takut dan berpikir bagaimana jika dia membunuhku.”
Kadang-kadang Khine menghasilkan 7.000 kyat (1 kyat = Rp11,41); namun di hari-hari lain tidak cukup untuk ongkos pulang dengan bus. Kemudian dia berjalan, mengambil jalan memutar di mana para pria melontarkan ucapan melecehkan dan menyerangnya. Ketika dia pulang, dia berharap tetangga memberi makan putranya daripada bergosip tentang dirinya.
“Beberapa meremehkan saya karena melakukan hal semacam ini dan memperlakukan saya seperti saya tidak lebih baik dari mereka,” katanya.
Kini Hla dan Khine selain terancam Covid-19 juga dibayangi terjangkit HIV. Karena sekitar 60 ribu PSK Myanmar terjangkit AIDS. (EP)