Indonesiainside.id, Darfur – Udang di balik batu penghapusan Sudan sebagai negara sponsor terorisme versi Amerika, akhirnya terbongkar.
Ternyata selama ini para pembantu Presiden AS Donald Trump telah menekan Sudan untuk mengambil langkah-langkah menuju normalisasi hubungan dengan Israel, menyusul langkah serupa yang ditengahi AS dalam beberapa pekan terakhir oleh Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain.
Pejabat Sudan membahas penghapusannya dari daftar terorisme AS di UEA sebagai imbalan atas pengakuan atas negara Israel, ungkap sebuah laporan.
Israel dan Sudan akhirnya pada Jumat sepakat untuk menormalisasi hubungan dalam kesepakatan yang ditengahi dengan bantuan Amerika Serikat, menjadikan Sudan negara Arab ketiga yang mengesampingkan permusuhan dengan Israel dalam dua bulan terakhir, lansir Daily Sabah.
Trump telah mengatakan kepada Kongres AS bahwa dia akan menghapus Sudan sebagai negara sponsor terorisme, Gedung Putih mengatakan pada Jumat setelah Sudan mentransfer 335 juta dolar ke rekening untuk para korban dan keluarganya.
Pemerintah transisi Sudan, yang bertanggung jawab sejak penggulingan Presiden Omar al-Bashir tahun lalu, telah mendorong negaranya agar keluar dari daftar sponsor terorisme versi AS, sehingga menghalangi kemampuannya untuk mengakses pinjaman luar negeri untuk mengatasi krisis ekonomi.
Pemerintah Sudan di bawah tekanan untuk memperbaiki krisis ekonomi, yang telah memburuk sejak penggulingan al-Bashir. Inflasi mencapai hampir 170% pada bulan Agustus, dan mata uang tersebut telah terjun bebas. Pada bulan yang sama, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengangkat masalah Sudan agar menjalin hubungan dengan Israel selama kunjungan.
Sementara itu, Donald Trump mengatakan pada hari Jumat bahwa dia berharap dapat melihat Iran bergabung dengan kesepakatan seperti ini dan sehingga dia “akan senang membantu Iran.”
UEA, mitra utama AS, bersama dengan Bahrain, menormalisasi hubungan dengan Israel dalam kesepakatan yang ditengahi oleh Washington. Mereka menjadi negara-negara Arab pertama dalam seperempat abad yang melanggar kebijakan lama yang menolak mengakui negara Yahudi tanpa mengamankan hak-hak orang Palestina yang telah lama dijajah.
Para pemimpin militer dan sipil dari pemerintah transisi Sudan telah terpecah-pecah mengenai seberapa cepat dan seberapa jauh harus melangkah dalam membangun hubungan dengan Israel.
Terlepas dari keinginan tentara Sudan untuk menormalkan hubungan dengan Israel setelah pertemuan kepala Dewan Kedaulatan Abdel Fattah al-Burhan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Februari di Uganda, pemerintah transisi sipil tampaknya enggan untuk mengambil langkah tergesa-gesa.
Pertemuan rahasia itu memicu kemarahan di negara itu karena rakyat Sudan tidak senang dengan perubahan mendasar dalam kebijakan luar negeri.(EP)