Shalat tanpa khusyu’ seperti badan tanpa roh. Nah, roh shalat adalah khusyu’, penghayatan (tadabbur), dan menghadirikan hati dalam setiap bacaan dan gerakan.
Menurut Imam Ibnu Athiyah, khusyu‘ dalam shalat adalah kondisi jiwa dalam keadaan diam atau tenang dan merendahkan hati. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, khusyu’ dalam shalat mencakup dua makna, yaitu; pertama bersikap merendahkan diri dan lemah di hadapan Allah SWT; kedua, diam dan tenang dalam melaksanakan shalat.
Imam al-Ghazali menjelaskan kedudukan khusyu’ yaitu hadirnya hati dalam shalat. al-Ghazali mengatakan, menghadirikan hati adalah roh dalam shalat. Minimal menghadirkan hati dalam setiap takbir. Kurang dari itu celaka. Selebihnya, menghadirkan hati dalam tiap-tiap bagian shalat.
Allah SWT berfirman dalam Surat al-Mu’min ayat 1-2:
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman”,
الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلٰو تِهِمْ خَاشِعُوْنَ
“(yaitu) orang yang khusyuk dalam salatnya.”
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 45:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.”
Demikian pentingnya khusyu’ dalam shalat. Meski terasa sulit, sejatinya itu menjadi hal yang harus terus diupayakan agar shalat yang didirikan sampai kepada Allah dan diterima. Karena shalat adalah menjadi penentu diterimanya segala amal saleh sehingga yang pertama harus diperbaiki adalah shalat.
Khusyu’ diketahui bersama bahwa ia bukan hal mudah untuk diperoleh. Karenanya, setiap orang yang akan mendirikan shalat harus serius agar bisa khusyu’, dan dengannya kita akan memperoleh penyucian jiwa dan memperbaiki hati. Diketahui pula, amalan hati merupakan amalan induk dalam pelaksanaan ibadah.
Untuk meraih shalat khusyu’ diperlukan terapi dengan latihan secara praktikal. Yaitu berlatih shalat khusyu’ setiap kali shalat agar seterusnya demikian hingga benar-benar khusyu’. Kedua, khusyu’ dapat diperoleh dengan penyucian jiwa, yaitu menyucikan jiwa terlebih dulu dalam setiap perkara sehingga hati ini dijauhkan dari penyakit-penyakit hati yang membahayakan seperti iri, dengki, suka pamer atau riya, sum’ah (ingin didengar), buruk sangka, dan lainnya.
Untuk menyembuhkan sifat lalai dalam shalat, sekaligus untuk meraih kekhusyu’an. diperlukan terapi dan latihan secara kontinyu dan konsisten. Sedikitnya ada empat tips agar shalat khusyu’.
1. Merasakan Urgensi shalat
Rasakan bahwa shalat adalah media komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Shalat adalah media untuk berdialog langsung kepada Allah SWT. Selama shalat, kita berhubungan langsung dengan Allah SWT, memohon kepada-Nya, sekaligus menunaikan perintah-Nya.
Menganggap shalat sebagai amalan yang teramat penting, akan membantu hati agar bisa fokus, karena penyebab kehadiran hati adalah himmah (tekad/ urgensi). Maka hati tidak akan hadir kecuali pada sesuatu yang dianggap penting.
JIka hati tidak hadir dalam shalat, maka pikiran seseorang akan menerawang kemana-mana dan menyibukkan pikiran kepada selain Allah. Itulah pentingnya menyelesaikan atau menganggap selesai semua masalah sebelum shalat agar shalat kita tidak terganggu. Maka ketika kita berhadapan dengan hidangan, maka makan lebih utama dilakukan sebelum shalat agar pikiran tak tertuju kepada hidangan tersebut di saat shalat.
2. Menolak bisikan hati
Usahakan sekeras mungkin tidak menyibukkan diri dengan hal-hal yang menyebabkan masuknya lintasan hati sehingga memecah konsentrasi. Jauhkan diri dari tempat yang dapat menjadi perhatian atau kebisingan yang dapat merusak fokus.
Fokuskan pandangan hanya ke tempat sujud, bukan ke yang lain. Jangan melirik ke atas atau ke samping, karena perbuatan itulah yang membuat rusaknya shalat kita, Melirik, menoleh, atau memainkan pandangan, adalah upaya setan untuk mencuri shalat seorang hamba.
Dari Aisyah RA, belaiu berkata, ak bertanya kepada Rasulullah mengenai menolah dalam shalat. Beliau bersabda: “Itu adalah pencurian yang dengannya setan mencuri shalat seorang hamba”. (HR Bukhari, Abu Daud, Nasa’i).
Dari Abu Dzar al-Ghifary RA, ia berkata, “Nabi SAW bersabda, Allah senantiasa berhadapan dengan hamba-Nya, selama ia tidak menoleh (dalam shalatnya). Maka saat ia menoleh, Allah pergi darinya.” (HR Abu Daud).
Untuk menghindarkan diri dari bisikan hati dalam shalat, jauhkan semua penyebab datangnya gangguan ekseternal seperti sedih, gembira, kesibukan duniawi, pekerjaan, dan lainnya. Pangkal kekhusyuan adalah kelembutan hati, kelunakannya, keheningannya, dan ketundukannya. JIka hati khusyu’, maka seluruh anggota tubuh akan mengikutinya dengan khusyu’, karena mereka mengikuti hati. Sebagaimana diketahui, hati adalah panglima, dan anggota tubuh lainnya adalah prajuritnya.
3. Merenungkan ayat-ayat yang dibaca dalam shalat, serta memikirkan makanya
JIka hati sudah tenang, tunduk, hening, konsentrasi tidak pecah, dan mampu melawan semua jenis bisikan hati, maka bacaan-bacaan shalat dan ayat-ayat yang dibacakan dapat dan harus direnungi. Ayat-ayat yang dibaca pun sebaiknya memilih ayat yang dapat mengguncangkan hati dan menggetarkan pendengaran. Seperti ayat-ayat yang menggambarkan kondisi akhirat dan keadaannya.
Firman Allah SWT dalam surat Maryam ayat 58:
اِذَا تُتْلٰى عَلَيْهِمْ اٰيٰتُ الرَّحْمٰنِ خَرُّوْا سُجَّدًا وَّبُكِيًّا ۩
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pengasih kepada mereka, maka mereka tunduk sujud dan menangis.”
4. Meyakini bahwa ibadah shalat kita akan ditanyai di hari kiamat
Suasana hati akan membawa kita pada sesuatu yang sedang dirasakan. Karena itu, menjaga perasaan tetap berada dalam kekhusyuan shalat itu penting. Salah satunya, merasakan atau menyadari bahwa bisa saja itulah shalat terakhir kita yang sedang kita dirikan. Dengannya kita akan mengingat-ingat hari akhirat dan melupakan kesenangan dunia.
Sebagaimana Allah sampaikan dalam Surat al-Baqarah tentang bagaimana mendapatakan kekhusyuan dalam shalat, yaitu: “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) mereka yang yakin, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (al-Baqarah (2), 45-46)
Melaksanakan shalat itu sulit dan berat, kecuali orang yang dalam shalatnya khusyu’, ikhlas, dan tunduk kepada Allah SWT. Imam Ahmad bin Hambal berpesan: “Allah SWT merahmati orang yang dalam shalatnya khusyu’, tunduk, dan merendahkan diri di hadapan-Nya, penuh rasa takut kepada-Nya, memohon hanya kepada-Nya, dengan sikap harap dan gemetar. Seluruh konsentrasi dalam shalatnya hanya diarahkan kepada Allah SWT dengan bermnajat kepada-Nya, terikat dengannya saat berdiri, duduk, ruku’ dan sujud. Dia kosongkan hatinya tentang cinta kepada anak. Dia tidak tahu apakah akan shalat lagi setelah itu, atau diwafatkan sebelumnya. Kemudian dia berdiri di hadapan Allah dengan cemas dan penuh harap. Ia berharap Allah akan menerima shalatnya, dan amat takut jika Allah menolaknya. Jika Allah menerimanya, maka dia akan bahagia dan jika Allah menolaknya, maka ia akan celaka.” Wallahu a’lam. (Aza)