Salah satu pembahasan yang diangkat dalam Kitab Riyadus Shalihin (taman orang-orang saleh), karya Imam Nawawi, menyangkut sikap penguasa terhadap rakyatnya. Handekanyalah para penguasa atau pemimpin bersikap lemah lembut, memberi nasihat, dan menyayangi rakyatnya.
Judul asli terkait pembahasan masalah ini dalam Kitab Riyadus Shalihin adalah: Perintah kepada penguasa supaya bersikap lemah-lembut kepada rakyatnya, memberikan nasihat serta menyayangi mereka, jangan menipu dan bersikap keras pada mereka, juga jangan melalaikan kemaslahatan mereka, lupa mengurus mereka atau yang menjadi hajat mereka.
Membaca judulnya saja, rasanya sudah sangat dimengerti dan dapat dipahami secara jelas dan terang benderang, tentang kewajiban utama seorang pemimpin atau penguasa. Perintah kepada penguasa, artinya sesuatu hal yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin atau penguasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “perintah” artinya perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu, aba-aba, atau komando, dan aturan dari pihak atas yang harus dilakukan.
Berbeda dengan nasihat, yang berarti ajaran atau pelajaran baik, anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik. Meski begitu, kata “perintah” dan “nasihat”, sama-sama diartikan sebagai pesan. Pesan dalam KBBI, berarti perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan lewat orang lain.
Pemilihan kata “perintah” kepada penguasa dalam masalah ini, menunjukkan ketegasan yang harus dijalankan. Dalam masalah ini, Imam Nawawi menuliskan dua ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema. Ayat pertama, Allah SWT berfirman:
وَٱخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Wakhfiḍ janāḥaka limanittaba’aka minal-mu`minīn
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS as-Syu’ara’: 215)
Dalam Tafsir as-Sa’di oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H, mengatakan, ayat “dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, dari kalangan orang-orang yang beriman,” yaitu, dengan sikap lembutmu, tutur katamu yang halus kepada mereka, rasa sayang dan cintamu kepada mereka serta akhlak mulia dan seluruh kebaikanmu terhadap mereka.
As-Sa’di mengatakan, sungguh Nabi SAW melakukan semua ini, sebagaimana firman Allah SWT, “maka disebakan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali-Imran:160)
Seperti itulah akhlak Rasulullah SAW, paling sempurna, dan dengannya banyak kemaslahatan besar yang diraih dan berbagai mudarat yang tercegah. As-Sa’di melanjutkan, apakah pantas bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengklaim sebagai pengikut Nabi, justru dia menjadi beban bagi kaum Muslimin? Atau, misalnya, berkhlak buruk, bersikap keras terhadap mereka, berkeras hati, dan berkata-kata kasar?
Lalu, apakah jika dia melihat orang lain melakukan maksiat atau kurang sopan, dia langsung memutus hubungan dengan mereka, mencaci, dan membenci mereka? Dia sama sekali tidak mempunyai sikap lembut, tidak memilki etika dan tidak juga taufik. Perlakuan seperti ini telah menimbulkan berbagai kerusakan dan terabaikannya berbagai kemaslahatan yang cukup parah. Ini semua tidak lain karena kebodohan, bujukan manis dan tipu daya setan kepadanya.
Kemudian, ayat kedua yang ditulis An-Nawawi dalam Riyadus Shalihin, Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Innallāha ya`muru bil-‘adli wal-iḥsāni wa ītā`i żil-qurbā wa yan-hā ‘anil-faḥsyā`i wal-mungkari wal-bagyi ya’iẓukum la’allakum tażakkarụn
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS an-Nahl: 90)
Ayat ini sangat masyhur kita dengarkan pada setiap akhir khutbah kedua pada shalat Jumat. Dalam Tafsir Kementerian Agama RI, ayat sebelumnya menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah penjelasan, petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri kepada Allah. Ayat ini kemudian mengiringinya dengan petunjuk-petunjuk dalam Al-Qur’an bagi mereka.
Petunjuk pertama, perintah untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Allah menyatakan, sesungguhnya Allah selalu menyuruh semua hamba-Nya untuk berlaku adil dalam ucapan, sikap, tindakan, dan perbuatan mereka, baik kepada diri sendiri maupun orang lain, dan dia juga memerintahkan mereka berbuat kebajikan, yakni perbuatan yang melebihi perbuatan adil; memberi bantuan apa pun yang mampu diberikan, baik materi maupun nonmateri secara tulus dan ikhlas, kepada kerabat, yakni keluarga dekat, keluarga jauh, bahkan siapa pun.
Selain itu, Allah melarang semua hamba-Nya melakukan perbuatan keji yang tercela dalam pandangan agama, seperti berzina dan membunuh; melakukan kemungkaran yaitu hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam adat kebiasaan dan agama; dan melakukan permusuhan dengan sesama yang diakibatkan penzaliman dan penganiayaan. Melalui perintah dan larangan ini dia memberi pengajaran dan tuntunan kepadamu tentang hal-hal yang terkait dengan kebajikan dan kemungkaran agar kamu dapat mengambil pelajaran yang berharga.
Petunjuk berikutnya adalah perintah untuk menepati janji. Allah berpesan, dan tepatilah janji yang telah kalian ikrarkan dengan Allah secara sungguh-sungguh apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu melanggar sumpah, yaitu perjanjian yang kamu teguhkan setelah janji itu diikrarkan dengan menyebut nama-Nya.
Dijelaskan juga, bagaimana Anda tidak menepati janji dan sumpah yang telah diikrarkan dan diteguhkan, sedang Anda telah menjadikan Allah sebagai saksimu atas janji dan sumpah tersebut. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang Anda perbuat. Baik niat yang terpintas dalam hati maupun tindakan dan perbuatan yang Anda lakukan, baik yang rahasia maupun yang nyata, termasuk janji dan sumpah yang kamu ikrarkan, tidak ada yang samar bagi Allah.
Dalam tafsir di atas, ada pesan bahwa tepatilah janji yang telah diikrarkan dengan Allah secara sungguh-sungguh apabila berjanji, dan janganlah melanggar sumpah. Sejalan dengan itu, maka ini menjadi pesan bagi semua pejabat yang telah bersumpah atas nama Allah terkait jabatan yang diemban. Pertanyaannya, selama menjabat, masihkah setia kepada Allah sesuai dengan sumpah jabatan atau sudah melenceng karena terlena, tergelincir, tergoda, dan terjebak dalam situasi tertentu? Intinya, menyelewengkan kewenangan seperti menindas, mengelabui, berbuat zalim, korupsi, kolusi, dan nepotisme, adalah bentuk keburukan yang menyalahi janji dan sumpah.
Pada bagian selanjutnya, adalah matan hadist yang juga sangat jelas memberikan peringatan dan batasan-batasan kepada setiap pemimpin. Terdapat enam hadist yang dituliskan dalam Kitab Riyadus Shalihin terkait dengan perintah kepada penguasa, yaitu:
(651) Dari Ibnu Umar adhiallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin (penggembala) dan harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya (gembalaannya). Penguasa adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang istri adaah pemimpin dalam rumah tangga dan ia harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang pelayan adalah pemimpin dalam mengelola harta dan ia harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Jadi setiap kalian adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (Muttafaq ‘alaih)
(652) Dari Abu Ya’la iaitu Ma’qil bin Yasar ra, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Seorang hamba yang diberi oleh Allah kepercayaan memimpin rakyatnya, namun ia mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga bagi-Nya. (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan: “…… seorang penguasa yang menguasai urusan ummat Islam, namun ia tidak memberikan nasihat kepada mereka, niscaya ia pasti tidak akan masuk surga bersama mereka.”
Dalam riwayat Imam Muslim juga disebutkan: “… seorang amir (pemimpin) yang menguasai urusan pemerintahan kaum Muslimin, kemudian ia tidak bersungguh-sungguh memberikan manfaat kepada mereka, juga tidak memberikan nasihat pada mereka (yakni mengusahakan yang baik dan menolak yang tidak baik), melainkan pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama yang dipimpinnya itu.”
(653) Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW berdoa dalam rumahku ini: ‘Ya Allah, barangsiapa yang diberi kekuasaan mengurusi ummatku kemudian dia membuat mereka sengsara, maka berilah kesengsaraan kepada orang itu, barangsiapa yang diberi kekuasaan mengurusi ummatku kemudian dia menunjukkan kasih-sayang kepada mereka, baik ucapan ataupun perbuatannya, maka kasih sayangilah orang itu.” (Riwayat Muslim)
(654) Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu orang-orang Bani Israil selalu dipimpin oleh para Nabi, yaitu setiap ada seorang Nabi yang meninggal dunia, maka digantilah oleh Nabi lainnya. Tetapi tidak akan ada lagi sesudahku. Yang ada hanya para khalifah (pemimpin), bahkan sangat banyak jumlahnya.” Para sahabat berkata: “Apakah yang Anda perintahkan pada kami?” Beliau SAW bersabda: “Tepatilah bai’atmu (janji setiamu) yang pertama, kemudian berilah kepada mereka (pemimpin itu) hak mereka. Dan mohonlah kepada Allah agar yang menjadi hakmu terpenuhi, karena Allah akan meminta pertanggung jawaban kepada mereka (para pemimpin/ khalifah) dalam memimpin ummat.” (Muttafaq ‘alaih)
(655) Dari ‘Aidz bin ‘Amr ra bahawasanya ia masuk ke tempat ‘Ubaidullah bin Ziad, lalu ia berkata: “Hai anakku, sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sejahat-jahat pemimpin adalah pemimpin yang lalim. Oleh karena itu, janganlah sampai kamu termasuk dari golongan mereka.” (Muttafaq ‘alaih)
(656) Dari Abu Maryam al-Azdi ra bahawasanya ia berkata kepada Mu’awiyah ra: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang diserahi oleh Allah kekuasaan dari beberapa urusan pemerintahan kaum Muslimin, kemudian orang itu menutup diri (tidak memperhatikan) perihal hajat, kepentingan atau kefakiran orang-orang yang di bawah kekuasannya, maka Allah juga akan menutup diri (yakni tidak memperhatikan) perihal hajat, kepentingan atau kefakirannya sendiri pada hari kiamat.” Sejak saat itu, Mu’awiyah lalu mengangkat seseorang untuk mengurus segala macam keperluan orang banyak.” Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Termidzi.
Demikian, pembahasan dan hadist-hadist yang berkaitan dengan tanggung jawab para pemimpin di tengah ummat Islam. Sungguh berat tugas-tugas para pemimpin atau penguasa karena pemimpin yang mengabaikan urusan ummat Islam ancamannya adalah neraka. Namun, mereka yang taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya, mereka juga akan dibalas dengan surga. Semoga menjadi tuntunan bagi kita semua. Amin Yaa Rabbal ‘Alamin. (Aza)