Indonesiainside.id, Jakarta— Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang telah berkuasa sejak 2000, tetap menjadi pemimpin di Suriah meskipun negara itu dilanda Perang Saudara 15 Maret 2011 untuk menggulingkannya. Setelah hampir 10 tahun Perang Saudara sebagai akibat dari protes rakyat terhadap pemerintahnya, lebih dari 387.000 orang telah terbunuh dan puluhan juta orang mengungsi.
Bashar, 55, adalah dokter mata yang menerima pendidikan lebih lanjut di Inggris dan menjadi presiden negara itu setelah ayahnya, diktator Suriah, Hafez al-Assad, yang dipimpin oleh tangan besi. Hafez meninggal pada tahun 2000.
Bashar masih memimpin Suriah meskipun revolusi Arab lebih dikenal sebagai Musim Semi Arab dimulai pada awal 2011 yang melihat jatuhnya Presiden di Tunisia, Mesir dan Libya. Di masa-masa awal Musim Semi Arab, posisi Bashar terlihat goyah dan pemerintahan Presiden Suriah masih berfungsi meski terpinggirkan oleh komunitas internasional dan pernah kehilangan dua pertiga wilayah negaranya karena kelompok militan yang berusaha menggulingkannya.
ISIS sempat menguasai sepertiga negara sebelum kehilangan hampir seluruh wilayah di bawah kendalinya pada tahun 2017. Sementara pemimpinnya Abu Bakar Baghdadi tewas dalam serangan militer AS di Suriah utara pada tahun 2019.
Beberapa analis mengatakan, dukungannya dari Rusia dan Rezim Iran termasuk faktor lain yang telah menyelamatkanya dari kekalahan. “Bertahun-tahun setelah seluruh dunia menuntut dia mundur dan berpikir mungkin saja dia akan digulingkan, sekarang beberapa negara ingin bekerja dengannya,” kata politisi veteran Lebanon Karim Pakradouni seperti dikutip oleh AFP.
“Bashar tahu bagaimana bermain dalam permainan jangka panjang,” katanya, menyentuh kebijaksanaan presiden Suriah untuk tetap menjadi pemimpin meskipun ada krisis politik di negaranya.
Pada 2011, Bashar memilih menggunakan kekerasan untuk mengakhiri protes anti-pemerintahnya yang memicu perang antara pasukan pemerintah dan kelompok bersenjata yang menentang pemerintahannya. Kelompok oposisi yang tidak mendukung pemerintahannya kemudian dimasukkan kelompok ‘teroris’.
Meski begitu, Bashar masih berkuasa dan mendapatkan kembali kendali atas lebih dari 60 persen wilayah negaranya setelah serangkaian kemenangan militer dengan bantuan Rusia. Bebebarapa yang dulu hilang, akhirnya kembali.
Dukungan militer kepada Presiden juga berperan penting dalam mempertahankan jabatannya hingga saat ini di samping tekadnya untuk tetap berkuasa dan memerintah negara. Dokter mata Syiah ini berkeinginan untuk memerintah Suriah yang memiliki ragam agama seperti Sunni, Syiah, Kristen dan populasinya terbagi antara Arab dan Kurdi serta minoritas lainnya.
Menurut seorang peneliti yang menolak disebutkan namanya kepada AFP mengatakan, ketakutan beberapa warga terhadap kerusuhan dan pengikut Syiah Alawi yang takut dia akan digulingkan telah memberikan keuntungan politik kepada presiden tangan besi itu.
Dia mengatakan mampu membuat semua keputusan dan memastikan militer mendukungnya di samping struktur rezim Damaskus yang memastikan bahwa tidak ada yang bisa mendapatkan banyak pengaruh untuk menantang posisinya.
Tidak adanya oposisi yang efektif juga membuat Bashar tidak dapat mempertahankan kekuasaannya di Suriah.
Pada tahun 2012, lebih dari 100 negara mengakui aliansi oposisi yang dikenal sebagai Aliansi Nasional Suriah sebagai perwakilan yang sah untuk rakyat negara tersebut, tetapi juga gagal untuk menggulingkan Bashar. Pada usia 55 tahun, Bashar diperkirakan akan mempertahankan lebih banyak kekuasaan untuk masa jabatan keempatnya setelah pemilihan presiden akan diadakan pada bulan April dan Mei tahun ini. (NE)