Ia berjalan sebatang kara…
Meninggal sebatang kara…
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara…
Itulah yang disampaikan dari lisan Rasulullah kepada sahabat tercinta sekaligus muridnya yang memegang teguh wasat Rasulullah SAW, Abu Dzar al-Ghifari. Abu Dzar, seorang sahabat dari kabilah Ghifar, suku yang amat ditakuti di zaman Rasulullah SAW. Kaum Ghifar terkenal sebagai perampok ulung, dan semua akan celaka bagi yang tersesat jalan dan jatuh di tengah-tengah masyarakat Ghifar.
Seperti yang sudah diulas sebelumnya, Rasulullah SAW pun terkejut dan takjub, ketika di suatu waktu duduk dalam kesendiriaannya, tiba-tiba didatangi seorang pria Ghifar ini. Lalu Abu Dzar menyapa, dan meminta dibacakan al-Qur’an.
Seketika itu, Abu Dzar bersyahadat dan memeluk Islam. Seketika itu pula, Abu Dzar siap menghunus pedangnya bagi para penyembah berhala di Makkah. Tetapi Rasulullah melarang. Pedang yang tajam disarungkanlah kembali Abu Dzar sepanjang hayatnya hingga menemui ajal di padang sahara dalam kesendirian, ditemani sang istri tercinta.
Rasulullah melarang Abu Dzar menegekkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan menggunakan pedang. Namun Rasulullah membiarkan Abu Dzar menghalau kebatilan dengan suara kerasnya, tajam, dan kritiknya yang lantang. Dengan suaranya itulah ia mengubah kaum Ghifar dan tetangganya, kaum Aslam, semuanya memeluk Islam dari anak-anak hingga orang tua renta. (Baca: Abu Dzar al-Ghifari: Sahabat yang Membuat Nabi Takjub karena Keberaniannya)
Dari zaman semasa hidup Rasulullah, kemudian dilanjutkan dengan kekhalifahan sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Abu Dzar masih bisa hidup tenang karena kemaksiatan belum begitu merajalela. Khususnya kerakusan manusia ada harta, jabatan, dan kekuasaan. Namun, setelah Khalifah Umat bin Khattab berlalu, Abu Dzar menderita melihat kemungkaran di kalangan kaum muslimin.
Kondisi di mana kaum muslimin dianda godaan dengan kemewahan yang berlebihan, penumpukan harta, penyelewengan kekuasaan, fitnah menyebar tak terkendalikan. Itu disaksikan Abu Dzar dengan mata kepalanya sendiri, dan ia pun dipaksa bersabar dalam wasiat Rasulullah kepadanya, dengan tidak menggunakan pedang.
Abu Dzar yang dikenal revolusioner dan radikal dalam menumpas kejahatan, harus tertunduk dalam wasiat sabar dari Rasulullah dengan tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan. Sepanjang hayatnya, Abu Dzar memikul panji contoh utama dari Rasulullah.
Sepeninggalan khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Abu Dzar melihat sebuah bahaya besar di kalangan ummat Islam. Harta yang dijadikan Allah sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, berubah rupa menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Sebuah kehidupan kontras sepeninggalan Nabi di mana baju besi (untuk perang) sudah tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kaki. Hasil kekayaan bumi yang diperuntukkan oleh Allah bagi semua ummat manusia dengan adil dan kesamaan hak, menjelma menjadi hak istimewa dan monopoli hingga manusia terbenam dalam kemewahan.
Sementara jabatan sebagai amanat yang harus dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan Allah, beralih menjadi alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan, dan kemewahan yang menghancurkan keutuhan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Abu Dzar melihat semua ketimpangan yang terjadi itu. Saking memuncaknya amarah Abu Dzar melihat semua itu, hingga suatu waktu, dia pun langsung menghunus pedangnya tampa banyak pikir. Dia meletakkannya di udara dan membedahnya.
Kemudian dia bangkit dan menantang perilaku manusia yang telah menyimpang dari ajaran Islam dengan pedangnya yang tak pernah tumpul itu. Kemudian bergemalah dalam kalbunya wasiat yang pernah disampaikan Rasulullah dulu. Pedang yang telah terhunus di sarungkannya kembali. Tiada sepantasnya ia mengacungkannya ke wajah seorang muslim. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan tiada hak bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja).” (QS an-Nisa: 92).
Bukankah dulu Rasulullah yang menyatakan di depan para sahabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah ada lagi orang yang muncul lebih benar ucapannya dibandingkan dengan Abu Dzar? Ia memiliki kata-kata tepat dan jitu sehingga tak membutuhkan lagi senjata. Satu kata yang ia sampaikan lebih tajan dibandingkan dengan menghunus pedangnya yang tak pernah tumpul.
Dikisahkan dalam buku “Rijal Haula Rasulullah, atau 60 Sahabat Rasulullah”, sudah mendatangi hampir semua pusat-pusat kekuasaan yang tak terkendali dalam menumpuk harta dan gemar dengan kemewahan. Nama Abu Dzar terbang terbawa angin, bahwa akan mendatangi daerah-daerah di mana pemimpinnya tenggelam dalam kerakusan harta. Di mana-mana orang ramai membicarakan perihal sikap Abu Dzar yang lantang melawan kezaliman dan kerakusan. Salah satu ayat yang sering yang ia sampaikan terkait larangan menumpuk harta, yaitu:
وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“…. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS at-Taubah: 34)
Kemudian, kelanjutan ayat tersebut:
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِى نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ ۖ هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (QS at-Taubah: 34)
Setiap ia mendaki bukit atau menuruni lembah memasuki kota, dan setiap ia berhadapan dengan penguasa, Abu Dzar selau menyampaikan pesan ayat tersebut di atas. Ayat itu menjadi misi perjuangan Abu Dzar untuk menaklukkan ketamakan pada harta dan kerakusan manusia pada jabatan.
Hingga suatu waktu, tibalah dia di Suriah (dulu Syria), yaitu tempat bercokolnya Mu’awiyah bin Abi Sofyan, yang memerintah wilayah Islam yang paling subur. Paling banyak hasil buminya dan juga terbanyak harta kekayaan dari upeti. Di sanalah berdiri gedung-gedung tinggi, penguasaan tanah yang luas, dan harta berlimpah, dan menjadi godaan bagi kaum muslimin. Maka Abu Dzar cepat-cepat mengatasinya sebelum berlarut.
Di sana Abu Dzar menjadi pemimpin yang sederhana dan sangat dinanti-nanti kehadirannya oleh rakyat jelata. Dia disambut masyarakat dengan kerinduan yang menyala-nyala, mengikuti Abu Dzar ke mana pun ia pergi. Perama kali, Abu Dzar berseru di tengah kerumunan warga, tidak jauh dari gedung-gedung tinggi di Suriah.
“Saya heran melihat orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa mereka tidak mendatangi orang-orang itu dengan menghunus pedangnya.”
Namun, Abu Dzar kembali tertunduk. Dia mengingat pesan Rasulullah yang menyuruhnya dengan cara evolusi, bukan revolusi. Yaitu menggunakan ketajaman lidah, bukan pedang. Dengan kata-kata hikmah, bukan cara radikal. Maka ia pun meninggalkan kata-kata perang dan senjata.
Dengan ucapan serta keberanian, Abu Dzar membentuk semacam lembaga atau perkumpulan di negeri-negeri Islam. Dengan kekuatan dan ketagguhan Abu Dzar bersama perkumpulan itu, kaum hartawan dan penguasa menjadi terkekang dan ketakutan. Perkumpulan pendapat umum ini didengar dan dibicarakan di setiap kerumunan orang di masjid-masjid dan lainnya.
Singkat cerita, Abu Dzar kemudian berunding dengan penguasa, yaitu Mu’awiyah. Abu Dzar meminta Mu’awiyah untuk melepas gedung-gedung tinggi dan tanah luas yang ia kuasai. Dia meminta Mu’awiyah berhenti menumpuk dan menyimpan harta. Cukup untuk kebutuhan makan setiap hari saja. Mu’awiyah pun sadar, namun ia juga tak ingin Abu Dzar berlama-lama di daerah kekuasannya karena kekuatan Abu Dzar yang semakin besar.
Hingga akhirnya, Abu Dzar dipanggil pulang ke Madinah oleh Khalifah Utsman bin Affan. Setibanya di Madinah, Abu Dzar diminta tinggal di sana bersama Ustman, namun Abu Dzar memilih tinggal di Rabadzah, dan diperkenankan oleh sang Khalifah. Abu Dzar berhasil mengampanyekan kesederhanaan dan berhentu menumpuk harta dengan semboyan: “Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika-seterika api neraka.”
Selain kerakusan pada harta dan jabatan, di zaman-zaman Abu Dzar ini juga fitnah merajalela. Abu Dzar pun memilih hidup sederhana sampai-sampai baju yang dia pakai pun terlihat lusuh. Harta yang ia miliki, diberikan kepada orang-orang yang dianggapnya lebih membutuhkan, sampai tertinggal dua helai pakian yang ia miliki.
Menjelang wafatnya, Abu Dzar tinggal sebatang kara ditemani sang istri, di sebuah padang sahara. Abu Dzar menghadapi sakaratul maut di Rabadzah. Istrinya, seorang perempuan kurus berkulit kemerah-merahan pun menangis. Abu Dzar bertanya, “Apa yang kamu tangiskan, padahal maut pasti akan datang?”
“Karena engkau akan meninggal dan tak sehelai kain pun untuk kain kafanmu,” jawab sang istri.
Abu Dzar tersenyum. “Janganlah menangis, Suatu hari ketika saya di sisi Rasulullah bersama beberapa sahabatnya, saya dengar beliau bersabda: ‘Pastilah ada seorang di antara kalian yang akan meninggal di pada pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh orang-orang yang beriman.'”
Sementara semua sahabat yang ada di majelis Rasulullah itu sudah meninggal semua, selain Abu Dzar. “Nah, inilah daku seorang yang menghadapi maut di padang pasir. Maka perhatikanlah jalan, siapa tahu ada rombongan siapa tau ada rombongan orang beriman yang datang. Demi Allah saya tidak bohong, dan tidak juga dibohongi.”
Ruhnya pun kembali ke hadirat Allah. Benar pula, di saat itu ada kafilah yang lewat. Tak lain dan tak bukan adalah rombongan yang dipimpin seorang sahabat Nabi juga, Abdullah bin Mas’ud. Apa kata Ibnu Mas’ud? “Benarlah ucapan Rasulullah. Anda berjalan sebatang kara, meninggal sebatang kara, dan akan dibangkitkan nanti sebatang kara…” (Aza)