Mush’ab bin Umair disebutkan dalam buku-buku sejarah sebagai duta Islam yang pertama. Maksudnya adalah beliau dipilih oleh Rasulullah SAW melakukan misi dakwah ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk Islam.
Karena itulah, Mush’ab bin Umair, menjadi salah seorang sahabat yang menjadi sumber peyebaran Islam, sebagaimana diketahui bahwa penyebaran Islam pertama kali terjadi di Madinah. Mush’ab dikirim ke Madinah sebelum Nabi Hijrah ke kota yang dikenal sebagai Kota Nabawi.
Di Kota Nabi tersebut, ada tiga misi Mush’ab bin Umair. Pertama, dia mengajarkan Islam kepada kaum Anshar yang telah masuk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah di Bukit ‘Aqabah. Kedua, Mush’ab juga mengajak orang-orang lain untuk menganut Islam. Ketiga, di sana Mush’ab juga mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut Hijratul Rasul sebagai peristiwa besar dalam Islam.
Kala itu, Mush’ab masih tergolong muda di antara sahabat Rasul lainnya. Masih banyak yang lebih tua dari Mush’ab, namun menjatuhkan pilihan kepada Mush’ab. Sang pemuda Mush’ab memikul beban cukup berat karena di tangannyalah tanggung jawab perkembangan Islam di Madinah. Sebuah kota yang memang dipersiapkan menjadi kota ummat Islam setelah hijrah dari Makkah.
Mush’ab memikul amanat dengan bekal karunia Allah kepadanya berupa pikiran yang cerdas dan budi luhur. Dengan sifat zuhud, kejujuran, dan kesungguhan hati, berhasil menaklukkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berduyun-duyun masuk Islam.
Setibanya di Madinah, Mush’ab menemui 12 orang Islam yang telah berbaiat di bukit Aqabah. Namun, hanya beberapa bulan kemudian, terjadi peningkatan yang orang-orang Madinah yang masuk Islam. Islam kemudian berkembang di Madinah dan lahirlah komunitas Islam yang pertama di zaman Nabi SAW, sebelum Hijratul Rasul dari Makkah ke Madinah.
Di Madinah, Mush’ab tinggal bersama saudara Anshar bernama As’ad bin Zararah. Bersama As’ad, Mush’ab mendatangi kabilah-kabilah, rumah-rumah dan tempat pertemuan, untuk membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan menyampaikan kalimatullah, bahwa “Allah Tuhan Maha Esa” secara hati-hati.
Meksi begitu, bukan berarti dakwah Mush’ab bukan tanpa bahaya dan ancaman. Pernah suatu waktu, dalam semua syiar Islam bersama orang-orang Madinah, datanglah seorang pemimpin kabilah yang disegani bernama Usaid bin Hudlair. Usaid menodong Mush’ab dengan menyentakkan lembingnya. Bukan main marah dan murkanya Usaid menyaksikan Mush’ab yang dianggap akan mengacau dan menyelewenagkan anak buahnya dari agama mereka.
“Apa maksud kalian datang ke kampung kami ini, apakah hendak membodohi rakyat kecil kami? Tinggalkan segera tempat ini jika tak ingin nyawa kalian melayang,” bentak Usaid.
Mendengar itu, Mush’ab tetap bersikap tenang dan air muka yang tak berubah. Seperti tenangnya samudera yang dalam. Laksana terang dan damainya cahaya fajar. Terpencar ketulusan hati dan bergeraklah lidah Mush’ab dengan kata-kata yang lembut lagi menyejukkan. “Kenapa Anda tidak duduk dan mendengarkan dulu? Senadainya jika Anda menyukainya nanti maka terimalah. Jika tidak, maka kami akan menghentikan apa yang Anda tidak suka itu,” jawab Mush’ab berdiplomasi.
Maka duduklah Usaid seraya menjatuhkan lembingnya. Dia mendengar pengajian Mush’ab. Mengalirlah ayat-ayat al-Qur’an dan kata-kata hikmah dari bibir Mush’ab. Semua yang dia ucapkan seolah menyinari dada Usaid sehingga terpancar seperti cahaya dari mukanya. Usaid juga menyadari kondisinya itu yang berubah menjadi tenang.
“Alangkah indah dan benarnya ucapan itu. Apakah yang harus dilakukan oleh orang yang akan masuk dalam agama ini?” tanya Usaid berseri-seri. Bergemuruhlah suara tahlil menyambut insafnya kepala suku Abdul Asyhal di Madinah ini.
Kemudian Mush’ab menyarankan kepadanya untuk mandi atau bersuci terlebih dahulu, lalu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Usaid lalu berdiri, mandi dan bersaksi dengan menyatakan pengakuannya, bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah.”
Setelah memeluk Islam, Usaid menyampaikan bahwa masih ada satu kepala suku yang sangat disegani di Madinah. Jika ia masuk Islam, maka ia menjamin seluruh penduduk Madinah juga masuk Islam. Tokoh yang dia maksud itu adalah Sa’ad bin Mu’adz. Dan Usaid sendiri yang akan menghubungi Sa’ad bin Mu’adz agar mendatangi Mush’ab.
Sepulangnya, Usaid sesegera mungkin menyampaikan kabar itu kepada Sa’ad bin Mu’adz. Namun, dia memintanya datang untuk memberi pertolongan kepada sepupunya, As’ad bin Zararah, karena mau diserang. As’ad masih kerabat Sa’ad yang menemani Mush’ab, dan memberikan fasilitas selama berada di Madinah.
Sesegera mungkin, Sa’ad datang namun tak melihat ada gerakan orang yang akan menyerang. Ternyata itu hanya siasat Usaid agar Sa’ad segera menemui Mush’ab. Setibanya, dia juga membentak Mush’ab atas ajaran yang dia sebarkan di Madinah. Namun, Mush’ab meminta Sa’ad duduk dulu mendengar apa yang ia sampaikan, sebagaimana Mush’ab memperlakukan Usaid yang datang sebelumnya.
Setelah duduk dan mendengar lantunan ayat-ayat al-Qur’an, Sa’ad juga mendapatkan hidayat dan masuk Islam. Dengan begitu, urusan dakwah di Madinah sudah selesai. Dua kepala suku sudah masuk Islam, dan keduanya pula yang mengajak kaumnya agar masuk Islam. Langkah Sa’ad tersebut diikuti pula olah Sa’ad bin Ubadah.
Dengan keislaman Usaid bin Hudlair, Sa’ad bin MU’adz, dan Sa’ad bin Ubadah, maka masyarakat Madinah lainnya juga berbondong-bondong masuk Islam. Demikian misi duta Rasulullah, Mush’ab bin Umair, yang diutus menyiarkan Islam di Madinah.
Atas kegemilangan tersebut, Rasulullah SAW bersama kaum Muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah (Muhajirin). Di sanalah kemudian Rasulullah berdiam dan mengembangkan agama Islam hingga akhirnya Islam mencapai kegemilangan dan menguasai jazirah Arab. (Aza/bersambung)