Indonesiainside.id, Jakarta – Peningkatan angka perkawinan anak menjadi perhatian PP Muhammadiyah. Dikatakan, perkawinan anak menjadi masalah serius bagi masa depan bangsa. Terlebih di masa pandemi ini, perkawinan anak naik menjadi 64.211 kasus dibandingkan sebelum pandemi di kidaran 23.126 kasus.
Menurut Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti, dari tradisi, perkawinan anak umumnya terjadi pada musim panen raya. Sedangkan dari sisi pemahaman agama, perkawinan anak muncul akibat pemahaman definisi baligh yang hanya berlandaskan pada perspektif reproduksi, bukan kematangan jiwa.
“Paham agama mengatakan daripada berzina, lebih baik menikah usia dini. Karena mereka menikah dini, kemudian punya anak di usia dini. Anaknya menangis, ibunya juga ikutan nangis,” kelakar Mu’ti dalam seremoni milad 93 tahun Nasyiatul Aisyiyah, Sabtu (7/8).
Dilansir Muhammadiyah.or.id, Abdul Mu’ti menganggap fenomena ini menjadi beban sosial karena perkawinan anak memicu berbagai persoalan. Mulai dari stunting hingga perceraian. “Kita bisa melihat Indonesia mengalami masalah yang cukup serius dalam masalah stunting. Ini yang juga jadi bagian dari program Nasyiatul Aisyiyah. Dan kadang-kadang persoalan stunting itu muaranya sebagiannya tidak murni ekonomi,” katanya.
Permasalahan mendasar yang memicu perkawinan anak menurut Mu’ti adalah sebagian tradisi bahkan juga pemahaman agama. Karena itu dirinya berharap Muhammadiyah melalui Nasyiatul Aisyiyah hingga Majelis Tarjih terus mengedukasi masyarakat umum.
Selain dua masalah itu, Abdul Mu’ti menilai tingginya perkawinan anak diakibatkan adanya ruang dalam ketentuan Undang-Undang yang mengatur dispensasi pernikahan usia anak yang membolehkan anak di bawah usia 18 tahun boleh menikah.
“Nah ini problem, dan sampai saya baca pada masa pandemi ini kompensasi pernikahan itu menumpuk di KUA-KUA,” ungkapnya.
“Dan itu permintaannya menumpuk sehingga menurut saya kebijakan dispensasi untuk menikah yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang itu memang perlu ditinjau kembali kebijakan itu karena akan menimbulkan masalah sosial yang serius,” jelasnya.
Jika tak dipandang serius, tingginya angka perkawinan anak justru akan membawa Indonesia pada generasi muda di masa depan yang stunting hingga bermasalah secara mental akibat tingginya angka perceraian.
Berbagai persoalan ini dianggap Mu’ti akan menjadi sandungan besar bagi misi Indonesia dalam menciptakan generasi yang unggul dan berkemajuan. “Ternyata pandemi ini juga menimbulkan dampak misalnya angka perceraian yang juga cukup tinggi. Sebagian alasannya ekonomi, tapi saya perhatikan sebagian juga karena mereka tidak cukup memiliki beban ketahanan keluarga karena mereka menikah dalam usia yang belum siap secara psikologis,” kritiknya. (Aza/ Sumber: muhammadiyah.or.id)