Dalam Hadits Arbain yang ke-27, Imam An-Nawawi menukil dua hadits shahih tentang kebaikan yang disebut al-birr dan dosa atau al-itsm. Nah, apa itu kebaikan dan dosa dalam Islam?
Pada kategori tertentu, perbedaan antara kedua kebaikan dan dosa sangat jelas seperti halnya perbedaan antara tauhid dan syirik, kebajikan dan keburukan, sunnah dan bid’ah, ketaatan dan pengingkaran, atau pahala dan kedurhakaan. Perbedaan keduanya sudah sangat jelas dan tidak perlu dicari lagi alasannya mana yang dibolehkan atau dianjurkan dan mana yang dilarang.
Meski demikian, ada juga beberapa perkara yang belum jelas, apakah termasuk dosa atau bukan, terlarang atau dibolehkan. Dalam keadaan ragu, ada petunjuk yang yang didapatkan dalam Hadits Arbain yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi berikut ini:
Hadits pertama:
Dari An-Nawwas bin Sam’an Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:
البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ ، والإثْمُ : ما حَاكَ في نَفْسِكَ ، وكَرِهْتَ أنْ يَطَّلِعَ عليهِ النَّاسُ
“Kebaikan (al-birr) adalah akhlak yang baik. Dan dosa (al-itsm) adalah sesuatu yang ada di dirimu dan engkau tidak suka kalau orang-orang mengetahuinya.” (HR Muslim)
Hadits kedua:
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، فَقَالَ : (( جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ البِرِّ وَالإِثْمِ ؟ )) قُلْتُ : نعَمْ ، قَالَ : (( اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ ، الِبرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ ، وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ القَلْبُ ، وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ ، وَتَردَّدَ فِي الصَّدْرِ ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ ))حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَيْنَاهُ فِي ” مُسْنَدَي ” الإِمَامَيْنِ أَحْمَدَ وَالدَّارميِّ بِإسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari Wabishah bin Ma’bad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah SAW, maka beliau bertanya: Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan dan dosa?” Aku menjawab, “Ya”. Nabi SAW bersabda: “Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebajikan itu adalah apa saja yang jiwa merasa tenang dengannya dan hati merasa tentram kepadanya, sedangkan dosa itu adalah apa saja yang mengganjal dalam hatimu dan membuatmu ragu, meskipun manusia memberi fatwa kepadamu.’” (Hadits hasan. Diriwayatkan dalam dua kitab Musnad dua orang imam: Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi dengan sanad hasan)
Disadur dari Syarah Arbain oleh Imam An-Nawawi, Syekh Ibnu Utsaimin berkata, akhlaq yang baik artinya manusia itu luas hatinya, lapang dada, berhati tenang, bermuamalah dengan baik,
Adapun orang yang fasiq dan durhaka maka dosa itu tidak membimbangkan jiwa mereka dan mereka tidak benci bila manusia melihatnya, bahkan sebagian dari mereka bangga dan menceritakan apa yang mereka perbuat berupa kedurhakaan dan kefasikan.
Diriwayatkan bahwa Adam as berwasiat kepada anak-anaknya dengan beberapa wasiat, di antaranya dia mengatakan, “Jika kalian hendak melalukan sesuatu dalam keadaan hati bimbang, jangan melakukannya. Sesungguhnya ketika aku hampir memakan buah pohon (yang terlarang), hatiku bimbang ketika memakannya”.
Di antaranya juga ia mengatakan, “Jika kalian hendak melakukan sesuatu maka hendaklah perhatikan akibatnya. Sesungguhnya jika aku memperhatikan akibat makan (buah pohon terlarang), niscaya aku tidak akan memakan dari pohon tersebut.
Adam as juga mengatakan, “Jika kalian hendak melakukan sesuatu maka mintalah pendapat dari orang-orang pilihan. Sesungguhnya jika aku meminta pendapat kepada para malaikat, niscaya mereka menyarankan kepadaku agar tidak makan dari pohon terlarang tersebut. (Bagian dari hadits yang diriwayatkan al-Buhkari no 88, 2052)
Menurut Ibnu Daqiq, “Kebajikan adalah akhlak yang baik” dalam hadits di atas, akhlaq artinya adil dalam muamalah, lemah lembut dalam berusaha, adil dalam hukum, dan sifat-sifat orang mukmin dalam Qur’an surat Al-Anfal:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
2. Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
3. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَّهُمْ دَرَجَٰتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
4. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.
Pembahasan tentang perbedaan antara kebaikan dan dosa adalah sebuah pembahasan besar. Ini adalah salah satu poros pembahasan dalam Islam. Karena Islam itu membahas antara kebaikan dengan keburukan, ketaatan dan maksiat, tauhid dan syirik, sunnah dan bid’ah. Maka apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas adalah salah satu pembahasan penting.
Terlebih di masa sekarang ini, tidak sedikit perkara yang masuk dalam masalah yang meragukan. Berdasarkan hadits yang kedua di atas, maka cara mendeteksinya adalah “Bertanyalah kepada hatimu. Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa dan hatimu tenang kepadanya. Sedangkan dosa adalah sesuatu yang terbetik di hati dan ada keraguan di dada kita terhadapnya, meskipun orang-orang berfatwa bahwasanya itu boleh.”
Kita tidak tenang, ragu, tidak nyaman, resah dan gunda, ditambah lagi tidak suka jika orang tahu kita lekaukan, itu, maka berdasarkan hadits di atas, menunjukkan bahwa hal tersebut adalah dosa.
Faidah Hadits
- Kata para ulama, al-birr bisa bermakna silaturahim (menjalin hubungan dengan kerabat). Kadang juga bisa bermakna cara bergaul yang baik. Juga al-birr bisa bermakna ketaatan. Semua ini termasuk bagian dari husnul khuluq (akhlak yang mulia). Demikian penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 16:101.
- Akhlak yang mulia adalah bentuk kebaikan yang paling utama.
- Akhlak yang mulia (husnul khulq) adalah berakhlak dengan akhlak yang sesuai syari’at dan beradab dengan adab yang diajarkan oleh Allah kepada hamba-Nya.
- Al-birr (kebaikan) dimutlakkan untuk setiap perbuatan ketaatan yang lahir maupun yang batin. Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa (7:165) menyebutkan bahwa al-birr adalah segala bentuk perintah Allah.
- Al-birr juga bisa dimaknakan dengan lawan dari ‘uquq (durhaka). Sehingga ada istilah birul walidain, berbuat baik kepada kedua orang tua. Al-birr dalam istilah bermakna berbuat baik dan menyambung hubungan dengan kedua orang tua.
- Al-birr juga kadang dikaitkan dengan takwa. Pada saat ini, al-birr berarti menjalankan konsekuensi keimanan dan berakhlak mulia. Sedangkan takwa berarti menjauhi segala yang Allah larang berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiat.
- Husnul khuluq (berakhlak baik) bisa jadi kepada manusia dan bisa jadi kepada Allah. Berakhlak kepada Allah mencakup menjalankan kewajiban, menjalankan hal sunnah, meninggalkan keharaman, juga meninggalkan yang makruh.
- Itsm atau dosa yang dimaksud dalam hadits adalah semua dosa.
- Yang dimaksud engkau tidak suka jika dosa itu nampak di sisi manusia. Manusia yang dimaksudkan di sini adalah orang berilmu dan paham agama. Kalau yang melihatnya sama-sama juga ahli maksiat, maka tidak akan punya rasa seperti itu.
- Hadits ini menunjukkan dorongan untuk berakhlak mulia.
- Dari hadits, dosa itu punya dua tanda: (1) tanda internal, yaitu jiwa merasa tidak tenang ketika melakukannya; (2) tanda eksternal, yaitu tidak senang dilihat oleh orang lain dan takut mendapatkan celaan mereka.
- Hadits ini menunjukkan bagaimanakah motivasi sahabat dalam mengenal halal dan haram, serta mengenal al-birr dan al-itsm.
- Orang yang punya fitrah yang baik, malu untuk berbuat dosa dan malu untuk menampakkannya.
- Hendaknya seorang muslim mendahulukan dalam urusan agamanya hal-hal yang jelas halalnya dibanding yang syubhat.
- Orang mukmin yang takut kepada Allah tidaklah melakukan sesuatu yang tidak menenangkan jiwanya walau ada fatwa yang membenarkannya dari luar selama itu bukan perkara yang jelas dalam syariat seperti berbagai rukhsah (keringanan).
- Boleh merujuk pada hati dengan syarat hati yang dirujuk adalah hati dari orang yang istiqamah dalam agama. Karena Allah akan menguatkan orang yang berilmu dengan niatnya yang lurus.
- Janganlah seseorang tertipu dengan fatwa manusia lebih-lebih lagi jika ia dapati dalam dirinya kebimbangan. Karena ada seseorang yang meminta fatwa pada seorang alim atau seorang penuntut ilmu, lantas dirinya masih dalam keadaan penuh keraguan, maka keadaan seperti ini bisa membuatnya bertanya pada alim lainnya. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Utsaimin, hlm. 299.
- Kaedah dalam menerima kebenaran adalah berpegang pada dalil, bukan pada sesuatu yang sudah masyhur di tengah-tengah manusia. Karena dalam hadits disebutkan, “meskipun manusia memberi fatwa kepadamu”. Lihat Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 44 dan Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Ibnu Utsaimin, hlm. 299.
- Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Jika sesuatu sudah ada dalilnya, maka hendaklah seorang mukmin tunduk pada Allah dan Rasul-Nya. (Aza)