Sebuah kisah anak dari orang saleh. Ibunda ar-Rabi bin Khutsaim berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, mengapa engkau belum tidur?” Anaknya menjawab, “Wahai ibu, siapa yang melewati malam hari dalam keadaan takut tidur, sungguh wajar baginya jika ia tidak tidur pada malam tersebut.”
Setelah sang ibu melihat senantiasa anaknya begadang dan menangis, ia berkata kepada sang buah hatinya itu. “Wahai anakku, mungkin engkau telah membunuh seseorang?”
Si anak menjawab; “Benar, Wahai Ibuku!”
Lalu ibunya bertanya lagi, “Siapakah orang yang telah engkau bunuh? Aku ingin memintakan ampunan kepada keluarganya. Sungguh, demi Allah, seandainya mereka mengetahui bahwasanya engkau senantiasa bangun malam dan menangis, tentulah mereka akan mengasihimu dan memaafkanmu.”
Sang anak menjawab: “Wahai ibuku, aku telah membunuh diriku sendiri (maksudnya, melakukan kemaksiatan)”.
Kisah Subuh: Larut dalam Ibadah hingga Sang Istri Datang Menagih
Kisah ini dinukil dari 99 Kisah Orang Shalih terbitan Darul Haq. Buku berjudul asli ” Mirah Qishshah min Qishasih Shalilihin karya Muhammad bin Hamid Abdul Wahab.
Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari kisah ini. Di antaranya adalah prasangka baik sang ibu serta rasa kasih sayang sang dan sikap lemah lembut kepada anaknya. Hati orang tua mana yang tak teriris mendengar kabar sang buah hati ternyata adalah seorang pembunuh? Namun sang ibu menyembunyikan rasa kecewanya, menahan amarahnya, juga mengesampingkan rasa sedihnya.
Kisah Subuh: Seseorang yang Keledainya Dihidupkan Lagi usai Berdoa
Mendengar kabar seperti itu, sang ibu tetap berprasangka baik. Dengan sifat lemah lembut pula, dia memberikan solusi sekaligus menguatkan jiwa sang anak, untuk memberikan bantuan sekaligus menghibur anak atas kesalahan besar yang telah dilakukannya.
Sang ibu juga bersikap yang tidak suka melihat masa lalu anak dari perbuatan buruk. Sang ibu tetap melihat masa depan cerah, optimisme, dan yakin bahwa kesalahan sebesar apa pun harus dihadapi dengan cara ma’ruf (dengan kebaikan). Sang ibu secara tidak langsung memberikan keyakinan bahwa Allah SWT mendengar doa dan menerima tobat sang hamba yang bersungguh-sungguh mengakui kesalahannnya.
Kisah Subuh: Alangkah Nikmatnya Tempat Kesudahan Itu
Sang ibu juga menanamkan keyakinan bahwa bertobat dan membalas keburukan dengan perbuatan kebaikan adalah pintu masuk untuk memperbaiki diri. Seperti dikisahkan, dalam dialog ibunya sang anak tersebut: “Sungguh, demi Allah, seandainya mereka mengetahui bahwasanya engkau senantiasa bangun malam dan menangis, tentulah mereka akan mengasihimu dan memaafkanmu.”
Salah satu peran penting orang tua adalah memberikan semangat dan motivasi kepada anak. Terlebih seorang ibu sebagaimana disebutkan sebagai al-madratul ula (sekolah pertama dalam keluarga). Jangan suka menghakimi, langsung menghukum, apalagi menghardik dan memarahi anak atas pengakuan dosa dan kesalahannya.
Dari kisah ini juga diperoleh pelajaran baik dari sang ibu yang penuh selidik mencari dan menginvestigasi sang anak dengan bahasa dan komunikasi yang membangun. Ibu dalam kisah ini bertanya dengan penuh hati-hati dan dengan cara hikmah, “Wahai anakku, mungkin engkau telah membunuh seseorang?”
Baca JUga: Hadits Arbain (32), Semua Bentuk Bahaya Dilarang
Seruan “Wahai anakku” adalah diksi yang membesarkan hati sang anak, seolah ibu tak peduli dengan kesalahan dan berpihak pada anaknya, sehingga anak tersebut merasa terlindungi. Melindungi anak secara psikologis adalah kebutuhan primer dalam kejiwaan sang anak.
Dan yang jauh lebih agung dari sifat dan perbuatan sang anak, adalah bertobat di masa mudanya. Sang anak sungguh telah menyadari bahwa berbuat maksiat sama saja membunuh diri sendiri. Karena itu, diksi yang digunakan sebagai “pembunuh” adalah motivasi untuk membangkitkan gairah beragama, terus belajar, bersungkur sujud kepada Allah dalam doa dan penghambaan, serta menyadari betapa ia telah mematikan jiwanya dalam dosa dan kenistaan.
Cara membalas keburukan itu adalah menghiasi diri dengan kebaikan, air mata tobat, dan air mata taqwa. Cara menebus kesalahan adalah muhasabah, menangis, dan memohon ridha serta hidayah Allah SWT. Wallahu a’lam. (Aza)