Hidup ini, menurut Buya Hamka, laksana berada di atas sebuah kapal yang tengah mengarungi sebuah samudera. Berikut ulasan Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar tentang sebuah kehidupan yang terkandung dalam Surat Yasin.
Perhatikanlah bumi tempat kita berpijak ini, tulis Hamka. Bagaimana jika bumi telah mati dan kering karena tidak ada hujan? Kemudian dihidupkan kembali oleh Allah, maka keluarlah hasil bumi sebagai sumber kehidupan semua makhluk.
Tanaman tumbuh subur dan air mengalir. Semua terjadi berpasang-pasangan. Jantan dan betina. Malam berganti siang. Matahari beredar di tempatnya yang telah ditentukan dan bulan pun berkeliling sejak bulan sabit sampai purnama dan sampai susut kembali. Semua beredar dengan beraturan. Matahari tidak boleh mengejar bulan. Malam pun tidak akan mendahului siang.
Kemudian dibangunkanlah kenangan manusia tentang asal-usulnya dari zaman dahulu. Tatkala sebuah bahtera nenek generasi kedua manusia membawa dan menyelamatkan manusia yang beriman. Orang yang tidak mau menerima anjuran kebenaran akan ditenggelamkan.
Kita masih ingat cerita bahtera Nabi Nuh AS yang sampai sekarang masih diteruskan oleh anak-cucu. Kita pun masih berlayar, baik dengan kapal yang sungguh-sungguh atau pun hidup itu sendiri pelayaran. Sewaktu-waktu kapal ini dapat tenggelam, hanyalah rahmat Allah dan kasih sayang-Nya jualah yang mempertahankan kita, sampai pada satu waktu tertentu.
Lalu dibayangkanlah bahwa suatu waktu kelak, panggilan akan datang, satu pekik yang keras dan dahsyat saja akan mengubah keadaan, dan jemputan itu dapat dielakkan, sehingga berwasiat pun tidak sanggup.
Suatu waktu yang ditentukan oleh Allah, makhluk yang telah tidur nyenyak dalam alam maut entah berapa waktu lamanya, akan tersentak karena akan dibangunkan dengan satu kali pekik pula.
Maka datanglah hari perhitungan itu, tiap orang akan menerima ganjaran dari bekas amalnya di kala hidup di dunia ini. Alangkah malangnya kehidupan orang yang durhaka dan bahagialah kehidupan orang-orang yang taat di dunia ini.
Di dunia ini, umat manusia telah diperingatkan agar tidak lalai tetapi masih banyak yang lengah sehingga mereka lupa kepada Allah SWT. Memang banyak sanggahan kepada Nabi sampai dia dianggap enteng.
Kehidupan fana ini ditukar dengan menyembah setan hingga datanglah Hari kebangkitan. Neraka Jahannam menganga telah menanti, mulut terkunci, tetapi tangan mengakui kesalahan dan kaki menjadi saksi.
Itulah manusia, mereka tidak ingat bahwa mereka berasal dari air mani segumpal, namun masih saja suka mendebat dan membangkang pada kebenaran.
Sebagian besar manusia mendustakan para Rasul meskipun banyak bukti yang menguatkan mereka. “Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasul pun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Yasin [36]: 30)
Mereka lebih memilih menyembah prasangka, materi, kekuasaan, dan nilai-nilai palsu, berlawanan dengan fitrah yang bersih, serta berlawanan dengan janji yang diambil pada mereka saat berada di tulang sulbi. “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yasin [36]: 60)
Mereka tidak memanfaatkan kesempatan usia sebelum lewat masanya saat memasuki usia senja dan kemampuan akal telah merosot tajam: “Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?” (QS. Yasin [36]: 68) Bahkan, mereka mendebat kebenaran dengan kebatilan dan melupakan hinanya asal penciptaan mereka: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (QS. Yasin [36]: 77)
Seandainya Allah Ta‘ala berkehendak, niscaya Dia menjadikan mereka makhluk yang buta terhadap segala tanggung jawab moral dan etik, sehingga mereka tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara kebaikan dan keburukan.
Tetapi, Allah Ta‘ala menjadikan mereka makhluk yang mengerti baik dan buruk, benar dan batil, sehingga mereka wajib mendaya-gunakan potensi pemikiran mereka untuk mencapai pengetahuan tentang hakikat dan mengamalkan implikasinya sebelum potensi akal mereka rapuh dimakan usia. Hanya saja, mereka mengejar-ngejar prasangka, menyembah materi, mencari-cari status dan kekuasaan semu.(Aza)