Pertama kali mendengar idiom “Dakwah”, kira-kira apa yang terlintas dalam benak pembaca? Mendengarkan ceramah ceramah di masjid atau media telivisi yang disampaikan di hadapan orang-orang saleh salehah, atau bagaimana?
Oleh: MB Setiawan
Kalau dilihat dari dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sepanjang hayatnya, beliau bukan hanya dakwah melalui ceramah di masjid. Tapi juga dakwah di pasar, balai pertemuan, rumah-rumah, dan lain sebagainya. Malah, dakwah model ceramah jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan dakwah melalui pendekatan personal dan amal perbuatan.
Saat sedang studi di Universitas Al-Azhar, penulis mendapatkan satu pelajaran terkait khutbah-khutbah Nabi SAW. Mengapa kalau dihitung sejak disyariatkannya Jum’at dengan khutbahnya sampai akhir hayat beliau, tidak terdapat buku khusus yang mengompilasi khutbah-khutbah beliau. Rupanya, dalam berkhutbah beliau sangat ringkas, dan rata-rata yang disampaikan adalah ayat al-Qur`an. Wajarlah jika khutbah beliau tak terkompilasi. Ini menunjukkan bahwa metode dakwah beliau tak sebatas dalam khutbah dan pidato.
Ketika Abu Bakar masuk Islam, apa karena terpukau dengan ceramah Nabi? Nyatanya bukan itu. Karena beliau mendakwahkan Islam dengan keteladanan. Selama bersahabat dengan Rasulullah, baik dalam kerangka bisnis dan interaksi sehari-hari, beliau dapati Rasulullah sangat jujur. Masuk Islamnya Ali, Zaid dan seterusnya, apa melalui ceramah di masjid? Ternyata tidak. Melalu interaksi dakwah secara langsung utamanya dengan keteladanan. Artinya, dakwah tak sebatas di tempat-tempat ibadah yang formal.
Lantas bagaimana dengan dakwah di kedai kopi atau kafe-kafe? Dari figur Hassan Al-Banna, pembaca akan menemukan corak dakwah yang cakupannya bukan hanya di masjid dan tempat formal lain yang biasa digunakan berdakwah. Dalam kedai kopi pun rupanya masih bisa digunakan untuk berdakwah.
Pada zaman Hassan Al-Banna hidup, dakwah lebih akrab disampaikan di tempat yang notabene merupakan kumpulan orang-orang saleh. Sementara, orang-orang yang dicitrakan “kurang saleh’, mungkin kalau istilah Indonesianya: Abangan, yang tersebar di pasar-pasar, jalan-jalan, kafe-kafe, warung-warung, dan semacamnya, kurang mendapat sentuhan dakwah.
Kondisi demikian membuat dakwah terkesan elitis dan menjadi statis dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Melihat fenomena ini, Hasan Al-Banna menangkap ketimpangan dakwah. Bagaimana mungkin dakwah akan berkembang, jika hanya disampaikan kepada orang-orang yang saleh dan rajin sembahyang. Sementara, umat Islam kala itu sibuk dengan golongan masing-masing, fanatisme bertebaran, kolonialisme begitu mengakar, belum lagi urusan-urusan kecil lainnya yang membuat umat makin krasan dengan kejumudan.
Syekh Al-Qardhawi dalam buku “70 Tahun Ikhwanul Muslimin” bercerita mengenai sepak terjang Hassan Al-Banna dalam mengembangkan sayap dakwahnya. Kata beliau, kedai atau warung kopi sering didatangi oleh Al-Banna sebagai arena untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Metode yang digunakan adalah dengan ceramah, berdiskusi tentang persoalan-persoalan yang sedang menimpa umat Islam. Tujuannya jelas agar mereka kembali ke Allah melalui dakwah.
Dari kedai-kedai kopi, kafe-kafe, warung-warung dan semacamnya, Al-Banna menangkap potensi besar. Jika mereka tersentuh nila dakwah, maka akan menjadi energi dahsyat yang bisa menciptakan kebangkitan umat yang kala itu sedang “bobok cantik”. Awalnya idenya diragukan, tapi pelan tapi pasti, dengan hikmah, kesantunan, ketelatenan, dan kesabarannya, dakwahnya merambah ke segenap lini masyarakat.
Dakwah beliau pun menjadi kuat dan kaderisasi semakin meningkat. Hasan Al-Banna berakar kuat di hati umat. Dari kedai kopi, Al-Abanna mampu menangkap peluang emas yang bisa didedikasikan untuk kebangkitan. Banyak orang tua dan para pemuda yang akhirnya sadar -atas izin Allah- dengan dakwahnya. Beliau memang sosok visioner. Dari kedai kopi yang kurang dilirik, mampu melebarkan sayap-sayap dakwah yang bisa menyulut kebangkitan umat hingga ranah peradaban. (Aza)